Minggu, 07 Juli 2019

Kontroversi Kitab al-Ibanah; Muktazilah atau Ahlussunah?


Kontroversi Kitab al-Ibanah; Muktazilah atau Ahlussunah?

 Imam Asy'ari, Muktazilah atau Ahlussunnah?
Membicarakan karya-karya al-Asyari berarti membicarakan produktifitas seorang ulama besar yang memiliki kedalaman dalam kajian, variasi dalam ilmu pengetahuan, keluasan dalam wawasan dan kekayaan dalam aneka ragam informasi. Pandangan sepintas terhadap karya beliau yang berjudul al-‘Umad fi ar-Ru’yah, akan memberikan informasi yang cukup mengenai siapa sebenarnya al-Asyari[1].
Kontroversi Kitab al-Ibanah; Muktazilah atau Ahlussunah?

Al-Asyari memiliki nama lengkap Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa Al-Asyari, lahir di Bashrah tahun 260 H/ 873 M, tepat di tahun wafatnya filsuf Arab, al-Kindi. Sedangkan mengenai kapan Imam al-Asyari wafat, masih terjadi perbedaan di antara sejarawan. Menurut sebagian pendapat, al-Asyari wafat pada tahun 320 H/ 935 M. Menurut yang lain, diantaranya Ibn Furak dalam kitab Thabaqâh al-Mutakallimîn, Imam al-Asyari wafat tahun 324 H/ 939 M. Ada juga yang mengatakan tahun 330 H. Namun di antara pendapat itu, yang paling mendekati keyakinan adalah pendapatnya Ibn Furak, sebab dia termasuk murid dari Abu Hasan al-Bahili, murid al-Asyari yang paling akrab dengan gurunya[2].   

Ibnu Asakir dalam kitabnya yang bejudul Tabyîn al-Kadzib al-Muftarî menceritakan, bahwa Imam Abul Qasim al-Qusyairi pernah berkata, “Para ahli hadits sepakat bahwa Imam al-Asyari adalah salah seorang Imam dari imam-imam ahli hadits. Mazhabnya adalah mazhab ahli hadits, ia berbicara sesuai dengan Ahlussunah dan membantah orang-orang yang berseberangan dari orang-orang yang menyimpang dan ahli bid’ah”[3].

Imam al-Asyari termasuk ulama yang kreatif dalam mengarang kitab. Terutama setelah “mengundurkan diri” dari mazhab Muktazilah. az-Zarkali menyebutkan bahwa, al-Asyari mengarang 300 kitab, termasuk diantaranya Imamah as-Shadiq ar-Rad al-Mujassimah, Makalah al-Islamiyyin, al-Ibanah ‘an Ushul Ad Diyanah, al-Rad ala Ibn ar-Rawandi, al-Asma’ wa al-Ahkam, al-Luma’ fi ar-Rad ala ahli az-Zaigh wa al-Bida’, dan lain-lain.

Baca juga: Interaksi dengan Orang Kafir

Diantara beberapa karya tersebut yang paling monumental adalah al-Luma’ dan al-Ibanah. Al-Ibanah sendiri memuat dasar-dasar akidah yang diusung oleh al-Asyari. Kitab ini bisa sampai kepada kita, karena jasa dari al-Hafizh Ibn Asakir yang mengutip sebagian isinya dalam kitab Tabyin Kidzb al-Muftari[4]. Di samping itu, kitab ini juga telah diterbitkan secara lengkap dalam beberapa edisi, antara lain edisi terbitan Saudi Arabia yang diberi kata pengantar oleh Abdul Aziz bin Baz -ulama Wahabi kontemporer- dan diterbitkan Jamiah Islamiyah, Madinah al-Munawwarah, edisi terbitan Beirut dan edisi terbitan Kairo yang ditahkik oleh Fauqiyah Husain Mahmud. Dari semua edisi terbitan tersebut, edisi terbaik adalah edisi terbitan Fauqiyah Husain Mahmud, meskipun isinya banyak yang meragukan. Sementara edisi terbitan Saudi Arabia dan Beirut, banyak mengalami distorsi (tahrîf) dan penambahan dari kalangan Wahabi[5].

Untuk penulisan kitab Al-Ibanah ini, hingga sekarang masih menuai banyak kontroversi dikalangan ulama. Banyak perbedaan pandangan tentang kapan kitab itu dikarang. Dikarenakan penulisan dalam kitab tersebut mengandung makna tekstual yang jelas dan lebih cenderung kepada sikap ahli hadis, terutama sikap Imam Ahmad bin Hanbal[6].

Menurut al-Barbahari, seorang penganut ekstrim Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa Imam al-Asyari mengarang kitab ini ketika masih berbau Muktazilah. Dikarenakan banyaknya pemikiran-pemikiran beliau yang sepertinya lebih mendahulukan rasional[7]. Untuk menepis tuduhan itu, Imam al-Asyari membantah dalam pembukaan kitab Al-Ibanahnya dengan terang-terangan menunjukan dukungannya terhadap akidah yang diusung Imam Ahmad bin Hanbal, “Jalan yang aku tempuh adalah berpegang teguh kepada kitab Allah, Sunnah Nabi, riwayat para sahabat, tabi’in, para imam-imam hadis, dan pada apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad Ibn Hanbal- semoga Allah menyinari wajahnya, dan meninggikan derajatnya....[8].

Sedangkan Dr. Hamudah Gharabah dalam kajiannya tentang Imam al-Asyari, mengatakan bahwa Imam al-Asyari menulis kitab al-Ibanahnya pada awal memisahkan diri dari mazhab Muktazilah. Kemudian beliau menulis kitab al-Luma’ setelah kondisi perlawanannya dengan Muktazilah mulai tenang serta kembali pada mazhab yang moderat[9]. Pendapat ini sejalan dengan al-Qodhi Abi al-Husein dalam Thobaqah al-Hanabilah  yang mengatakan bahwa al-Ibanah dikarang untuk menunjukkan wujud dukungannya terhadap ulama ahli hadis setelah mendapat tuduhan dan melakukan dialog dengan al-Barbahari[10].

Pendapat ini juga didukung dari kalangan Asyairah yang berpendapat bahwa setelah keluar dari Muktazilah, Imam al-Asyari merasa perlu membuktikan dukungannya terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dan menunjukan penentangannya terhadap Muktazilah sebagai rivalnya. Karena itulah beliau lalu menulis kitab al-Ibanah sebagai bukti akan penentangannya itu[11].

Dengan demikian apabila kita mengikuti pendapat Dr. Hamudah Gharabah yang menganggap bahwa kitab ini ditulis sebagai reaksi cepat dari sang Imam setelah keluar dari aliran Muktazilah, dan bukan ditulis ketika beliau masih menganut aliran Muktazilah, maka pendapat ini lebih mendekati pada kebenaran ketika membahas tema ini secara global[12]. Dr. Hamudah Gharabah juga berpendapat bahwa perbedaan antara Imam al-Asyari dan pengikutnya adalah perbedaan yang tidak menyentuh pada pikiran utama dalam mazhab al-Asyari, serta tidak ada jurang perbedaan yang lebar antara mereka seperti yang diklaim oleh para orientalis.

Bahkan Dr. Hamudah berpendapat lebih jauh lagi, bahwa Imam al-Asyari konsisten mengikuti akidah Imam Ahmad bin Hanbal dan tidak pernah meninggalkannya. Sementara pengikut Imam Ahmad bin Hanbal sendiri malah meninggalkannya, klaim ini sangat penting untuk dikaji.


Ma'sum Ahmadi/Annajah Center Sidogiri



[1] Muhammad Idrus Romli. Mazhab al-Asyari Benarkah Ahlussunah Wal Jama’ah?, (Khalista), 2009. hal. 26.
[2] Tim Karya  Ilmiyah Santri Lirboyo. Aliran-Aliran Teologi Islam, (2008). hal. 242.
[3] Tabyin al-Kadzib al-Muftari ala al-Imam al-Asy’ari, hal. 112-113.
[4] Imam Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. (Darul Anshar). hal. 74.
[5] Hamad al-Sinan dan Fauzi al-‘Anjari, Ahl al-Sunnah al-Asya’irah Syahadah ‘ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, (Hawalli: Dar al-Dhiya’, 2005), hal. 58.
[6] Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir. Ensiklopedia Aliran dan Mazhab di Dunia Islam, (Pustaka Al Kautsar), hal. 158.
[7] Tim Karya  Ilmiyah Santri Lirboyo. Aliran-Aliran Teologi Islam, (2008). hal. 243-244.
[8] Abdullah Mahmud Muhammad ‘Umar. Op. Cit. hal.4; Imam Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. (Darul Anshar). hal. 20.
[9] Lihat Al-Imam Al-Asy’ari. hal. 68.
[10] Imam Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. (Darul Anshar). hal. 74.
[11] Tim Karya  Ilmiyah Santri Lirboyo. Aliran-Aliran Teologi Islam, (2008). hal. 253.
[12] Lihat, Al-Asy’ari, karya Dr. Hamudah, hal. 135-136.

0 komentar:

Posting Komentar