Pada tahun kelima Hijriyah, terjadilah perang Ahzab atau lebih populer dengan sebutan perang Khandaq. Sedikitnya ada sepuluh ribu pasukan sekutu yang berasal dari orang-orang Quraisy dan beberapa kabilah Arab yang lain. Mereka hendak menyerang umat Islam di kota Madinah. Kabar penyerangan itu akhirnya sampai pula pada umat Islam. Syahdan Rasulullah saw meminta pendapat para Shahabat.
Ubadah bin as-Shamit yang tengah berada diantara para Shahabat itu mengajukan usul. “Ya Rasulullah, aku memiliki ikatan persaudaraan sedikitnya dengan lima ratus orang Yahudi. Bolehkah aku ajak mereka bergabung bersama pasukan Muslim?”
Rasulullah saw belum juga menanggapi usulan itu akhirnya turunlah ayat yang artinya:
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai wali loyalis), melainkan orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu dari (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali.” (QS .Ali Imran [3]: 28)
Seorang Mukmin tidak akan menjadikan orang kafir sebagai loyalisnya terkecuali dikarenakan imannya lemah. Boleh jadi ghirah atau sensifitasnya terhadap agama tidak begitu kuat. Sehingga lebih mengutamakan orang kafir --sekalipun dalam persoalan yang tidak menyangkut agama, daripada berusaha meningkatkan hubungannya dengan sesama Islam. Dalam kontek ke-Indonesia-an, umat Islam lebih dominan daripada orang kafir. Sehingga, persoalan-persoalan di bidang apapun lebih baik dibicarakan dengan sesama Islam ketimbang menyerahkannya kepada orang kafir.
Sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran bahwa orang kafir itu, apapun agamanya, tak akan pernah ridha terhadap umat Islam. Dengan artian bahwa orang kafir tak akan tinggal diam membiarkan agama Islam menemukan momentumnya. Allah swt berfirman yang artinya:
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka."(QS. al-Baqarah [2]: 120)
BACA JUGA: Syahid Memahami Ketentuan dan Pentingnya Jihad
Dalam sejarah pun dapat kita temukan beragam makar yang dilakukan orang kafir. Termasuk pengkhianatan-pengkhianatan mereka terhadap umat Islam generasi awal. Hal itu terbukti dari kisah hijrahnya Rasulullaah saw ke kota Madinah. Ketika itu, orang-orang kafir Madinah dan sekitarnya terpecah menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama bersikap lunak dan lebih memilih jalur aman. Mereka mengadakan perjanjian damai dengan umat Islam. Sedang kelompok kedua cenderung memilih sikap lebih keras daripada kelompok pertama. Mereka merasa tidak rela membiarkan umat Islam hidup dalam kedamaian. Dengan tegas, mereka siap menghadapi umat Islam. Sementara kelompok yang terakhir tidak memihak kepada orang kafir juga tidak berdamai dengan umat Islam. Kelompok ketiga ini menantikan situasi yang tepat dimana mereka akan berpihak pada kelompok yang lebih dominan antara orang kafir dan umat Islam.
Hingga pada akhirnya, Yahudi Bani Qainuqa’ mengawali penghianatan. Mereka mula-mula menampakkan kebencian dan permusuhan. Puncaknya, mereka mempermainkan kehormatan seorang perempuan yang kemudian mendorong para shahabat bersegera menghentikan ulah mereka.
Disusul kemudian penghianatan Bani Nadhir, enam bulan pasca peristiwa Bani Qainuqa’. Pergerakan mereka dengan segera dapat diatasi oleh para shahabat. Sekian kalinya Allah tidak membiarkan orang kafir mengalahkan umat Islam.
Nah, dari pemaparan singkat diatas, dapat dipahami bahwa sekalipun berinteraksi dan bermuamalah dengan orang kafir dalam persoalan duniawi tidak dilarang, namun umat Islam tetap harus menaruh sikap waspada. Sebab perbedaan agama cenderung memunculkan fanatisme. Oleh karenanya, orang kafir –apapun agamanya, akan memposisikan kepentingan agamanya diatas kepentingan agama Islam. Apalagi bila agama Islam dianggap sebagai penghalang atas keberlangsungan agamanya. Wallahu a’lam.
Khotibul Umam/Aktivis Kajian Hadis
0 komentar:
Posting Komentar