Rabu, 23 November 2016

Belajar Sederhana dari Fatimah, Istri Khalifah Umar




Ketika mendengar suaminya dibai’at menjadi khalifah baru, Fatimah sangat terkejut. Namun ia lebih terkejut mendengar kabar bahwa suaminya menolak semua fasilitas istana. Umar memilih menunggangi keledai yang dipakai sehari-hari, membatalkan acara pelantikan yang akan diadakan besar-besaran.
Fatimah heran dan tidak percaya mendengar berita tersebut karena ia sangat menganal karakter suaminya yang sangat identik dengan kemewahan hidup, mengapa secara tiba-tiba berpaling dari kemegahan padahal tampuk kekuasaan kaum muslimin baru saja dianugerahkan kepadanya?
Keterkejutannya semakin bertambah ketika melihat suaminya pulang dari Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah. Suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dari sebelumnya. Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya gemetaran dan layu karena menanggung bean yang teramat berat.
Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh kasih sayang kepada sang istri tercinta, “Fatimah, istriku.... Bukankah engkau telah tau apa yang menimpaku? Bebabn yang teramat dipikulkan dipundakku, mejadi nahkoda yang dipenuhi, ditumpangi umat Muhammad SAW. Tugas ini menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan. Aku khawatir kelak engkau akan meninggalakanku apabila aku menjalani hidupku yang baru, padahal aku tak ingin berpisah denganmu hingga ajal menjemputku.”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?” Tanya Fatimah.
“Fatimah engkau tau bukan, bahwa semua harta dan fasilitas yang ada di tangan kita berasal dari harta umat Islam. Aku ingin mengembalikan harta tersebut ke baitul mal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai. Di sebidang tanah itu kelak akan kubangun tempat kita berteduh dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut. Maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sebar terhadap rencana perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan, maka berterus teranglah, dan sebaiknya engaku kemabali ke orang tuamu!” Jawab Umar bin Abdul Aziz.
Fatimah kembali bertanya, “Ya suamiku.... Apa yang sebanarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”
“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang tidak ternilai apapun juga yakni surga, surga adalah impian terakhirku” jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.
Fatimah yang notabene merupakan wanita yang terbiasa hidup mewah, dengan fasilitas yang disediakan dan pelayanan super maksimal. Itu semua karena dia merupakan satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara putra khalifah Abdul Malik bin Marwan. Layaknya purti raja, Fatimah pun mendapatkan segalanya. Hidup dengan kasih sayang dan dimanja-manja oleh orang tua dan saudara-saudarany merupakan kebiasaan Fatimah. Kebahagiaannya menjadi sempurna dipersunting oleh seorang lelaki yang terbaik pada zamannya, dari keluarga terhormat bernama Umar bin Abdul Aziz, yang hidup dengan keglamoran dan kemewahan. Meskipun demikian dia merupakan sosok yang religius dan amanah.
Akan tetapi, Fatimah tidak menunjukkan kekesalan dan keputusasaan. Justru dengan suara tegar, mantap ia menegaskan, “Suamiku.... Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku setia di sisimu baik kala susah atau senang hingga maut memisahkan kita.”

Fatimah yang agung itu menjadi pendukung pertama perubahan yang akan dilakukan oleh suaminya, yakni gerakan kesederhanaan seorang pemimpin dala kehidupan, demi bakti dan keridhaan sang suami yang tercinta. Ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya, semua dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan dan keimanan yang kuat.
Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan. Makanan yang disantap, pakaian yang dikenakan tanpa ada kelezatan dan kemewahan. Semuanyatidak jauh dari rakyat biasa padahal status yang disandang adalah sebagai ratu dan raja seluruh umat Islam saat itu.
Begitu sederhananya kehidupan yang mereka terapkan, sehingga orang yang belum mengenal tidak menyangka bahwa mereka adalah pasangan penguasa umat Islam kala itu. Diceritakan, suatu hari datanglah seorang wanita dari Mesir untuk menemui khalifah di rumahnya. Sesampai di rumah yang ditunjukkan, ia melihat seorang wanita cantik dengan pakaian yang sederhana sedang memperhatikan seseorang yang memperbaiki pagar rumah yang dalam kondisi rusak.
Setelah berkenalan si wanita Mesir baru sadar bahwa wanita tersebut adalah Fatimah, istri sang Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Tamu itupun menanyakan suatu hal, “Ya sayyidati.... Mengapa engkau tidak menutup auratmu dari orang yang sedang memperbaiki rumah engkau?”
Seraya tersenyum Fatimah menjawab, “Dia adalah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz yang sedang engkau cari.”

Subhanallah, kesederhanaan yang benar-benar sulit ditemukan zaman ini. Semoga saja, para muslimah bisa meneladani kesederhanaan Fatimah. Amiiiin

0 komentar:

Posting Komentar