Makanan Halal
Menjadi Penentu
Al Harits Al Muhasibi, ulama zuhud yang wafat pada tahun 243 H, yang sejak
kecil sudah menjaga agar jangan sampai makanan haram atau subhat masuk ke dalam
perutnya. Pada waktu masih berusia kanak-kanak, beliau pernah berjalan melalui sekelompok anak-anak yang sedang bermain di depan
pintu penjual kurma, ia perhatikan anak-anak itu bermain. Tidak lama kemudian,
pemilik rumah keluar dengan membawa beberapa butir kurma, dangan mengatakan
kepada Harits, ”Makanlah kurma ini.” Harits tidak langsung mengiyakan, akan tetapi ia malah
bertanya, ”Dari mana asal kurma ini?”. Si penjual kurma menjawab, ”Aku
baru saja menjualnya kepada seseorang, lalu berjatuhanlah kurma yang telah ia
beli”. Harits kembali bertanya, ”Apakah engkau mengetahuinya?” Si penjual itu kembali
menjawab, ”Iya”.
Setelah mendengar jawaban itu, Harits segera pergi menuju
sekumpulan anak-anak yang sedang bermain, dan bertanya, ”Apakah
orang ini (Si penjual) Muslim?” Mereka
menjawab,”Iya”. Memperoleh jawaban demikian, Harits pergi menjauh
meninggalkan si penjual itu. Si penjual kurma
mengikutinya, sampai akhirnya ia menahan Harits. ”Jangan pergi,
sebelum engkau menjelaskan, kenapa engkau berbuat demikian?” Harits menjawab,
“Wahai syeikh, carilah pembeli kurma tadi, dan serahkan barang yang telah ia
beli, sebagaimana engkau membutuhkan air, di saat engkau menderita kehausan
yang amat sangat. Wahai syeikh, anda telah memberi makan kepada anak-anak
Muslim dengan barang haram, padahal engkau Muslim?!” Si penjual akhirnya
mengatakan,”Demi Allah, aku tidak akan berdagang hanya untuk mencari dunia
selamanya.”
Menimbah Ilmu Bagai Padi
Diceritakan oleh Utsman bin
‘Ashim, beliau berkata; Suatu ketika di kota Mekkah, tepatnya di antara bukti Shafa dan Marwa,
aku melihat seorang lelaki tua tengah menunggang seekor unta. Di bawahnya, tali unta tersebut
dipegang oleh
seorang lelaki yang juga sudah tua, dialah yang berjalan kaki menarik unta tersebut ke
tempat tujuannya. Syahdan, aku kemudian melihat banyak orang berkumpul mengerumuni pria
tua yang ada di atas tunggangan tersebut. Orang-orang itu adalah para
ahli dan penuntut ilmu hadits yang haus akan ilmu, mereka mengikuti unta itu ke
mana pergi.
Pria tua yang berjalan menarik
unta tersebut lalu berkata: "Wahai anak-anak muda, cukup!. Mari kita berhenti sejenak untuk
bertanya dan belajar dari Syaikh ini".
Aku pun bertanya kepada mereka: "Siapa orang tua yang di atas punggung unta tersebut?".
Mereka menjawab: "Dia adalah Imam Al-Auza'i...". Ujar mereka menyebut nama seorang ulama besar.
Aku pun terkagum dan bangga karena berkesempatan berjumpa ulama sebesar beliau. Lalu aku pun bertanya kembali: "Lantas, siapa pula orangtua yang menarik unta dan berjalan kaki itu?".
Mereka menjawab: "Dia adalah Sufyan Al-Tsauri...". Jawab mereka.
Aku pun bertanya kepada mereka: "Siapa orang tua yang di atas punggung unta tersebut?".
Mereka menjawab: "Dia adalah Imam Al-Auza'i...". Ujar mereka menyebut nama seorang ulama besar.
Aku pun terkagum dan bangga karena berkesempatan berjumpa ulama sebesar beliau. Lalu aku pun bertanya kembali: "Lantas, siapa pula orangtua yang menarik unta dan berjalan kaki itu?".
Mereka menjawab: "Dia adalah Sufyan Al-Tsauri...". Jawab mereka.
Demikianlah
akhlak para ulama. Mereka yang meneladankan kepada kita suatu hikmah: semakin
tinggi ilmu, semakin rendah hati, semakin berbudi.
Siapa yang tak kenal dengan Imam Sufyan Al-Tsauri? Ulama besar yang perkataannya menyamai para imam mazhab. Namun dengan ketinggian ilmu, beliau tidak menyombongkan diri, beliau tidak angkuh, bahkan tidak malu menjadi penarik tali unta untuk sekedar bisa belajar dari ulama lain.
Siapa yang tak kenal dengan Imam Sufyan Al-Tsauri? Ulama besar yang perkataannya menyamai para imam mazhab. Namun dengan ketinggian ilmu, beliau tidak menyombongkan diri, beliau tidak angkuh, bahkan tidak malu menjadi penarik tali unta untuk sekedar bisa belajar dari ulama lain.
Mengakui Kesalahan
Suatu hari di masjid raya negeri Fusthat, wilayah Mesir.
Seorang ulama terkenal bernama Abul Fadhl Al-Jauhari sedang menyampaikan ilmu
agama untuk khalayak ramai. Dalam kesempatan tersebut, Al-Jauhari menjelaskan
bahwa Rasulullah r pernah menjatuhkan
talak, mengucapkan zhihar, dan melakukan ila’. Di antara hadirin, terlihat
seseorang yang nampak asing bagi al-Jauhari dan orang-orang. Orang asing itu
bernama Muhammad bin Qasim al-Utsmani. Setelah keluar meninggalkan masjid, al-Utsmani bersama satu rombongan orang lantas mengikuti Al-Jauhari
dari belakang, sampai ke rumahnya. Mereka dipersilahkan masuk.
Setelah berbincang-bincang dan tamu-tamu telah beranjak pamit,
Al-Jauhari memberi kesempatan kepada Al-Utsmani untuk berbicara. “Hari
ini, saya menghadiri majelis anda. Saya mendengar anda menerangkan bahwa
Rasulullah r pernah
melakukan ila’ dan menjatuhkan talak, hal ini benar. Namun, anda juga
mengatakan bahwa Rasulullah r mengucapkan zhihar, padahal hal ini tidak pernah terjadi.
Sebab, zhihar itu termasuk ucapan mungkar dan dusta. Jadi, tidak mungkin hal
ini terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Al-Utsmani
berterus terang. Saat itu juga, Al-Jauhari memeluk Al-Utsmani dan mencium
kepalanya. Al-Jauhari menyatakan, “Sejak detik ini, saya bertaubat dari
pendapat tersebut. Semoga Allah I membalas anda dengan kebaikan, atas teguran ini.”
Keesokan harinya, sebagaimana biasa, Al-Jauhari menyampaikan
ilmu untuk khalayak ramai di masjid raya Fusthat. Dalam kesempatan
tersebut, Al-Jauhari mengumumkan rujuknya dari pendapat yang disampaikannya pada
hari sebelumnya. Sekaligus beliau memuji Al-Utsmani. “Saya
adalah guru kalian. Namun, orang ini (Al-Utsmani) adalah guruku. Kemarin, saya
menyatakan bahwa Rasulullah r pernah melakukan
ila’, menjatuhkan talak, dan mengucapkan zhihar. Namun, tidak ada seorang pun
dari kalian yang menegur,” kata Al-Jauhari. Kemudian Al-Jauhari
menceritakan ulang tentang kejadian kemarin bersama Al-Utsmani. Al-Jauhari
lalu menutup pembicaraan di majelis tersebut dengan berkata, “Saya menyatakan
taubat dari pendapat kemarin dan saya rujuk kepada kebenaran. Barangsiapa yang
kemarin hadir, janganlah ia berpendapat demikian! Barangsiapa yang hari ini
tidak hadir, hendaknya diberitahu oleh yang hadir. Semoga Allah membalasnya
dengan kebaikan.”
Pelajaran penting dan berharga! Berani mengaku salah adalah
sifat terpuji. Siap untuk merujuk kepada kebenaran merupakan akhlak mulia.
Hanya hamba yang berjiwa besar saja yang mampu melakukannya.
0 komentar:
Posting Komentar