Selasa, 29 November 2016

Menghindari Popularitas Sebagai Jalan Pintas


   ادْفِنْ وُجودَكَ في أَرْضِ الخُمولِ، فَما نَبَتَ مِمّا لَمْ يُدْفَنْ لا يَتِمُّ نِتاجُهُ
"Benamkan dirimu di tanah ketidaktenaran. Sesuatu yang tumbuh dipermukaan (tanpa ditanam), tak akan sempurna hasilnya."
Hikmah ini berbicara tentang khumul. Sebuah istilah yang begitu akrab terdengar di dalam dunia suluk. Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan panjang lebar akan hal itu. Berikut uraian singkatnya.
Secara bahasa khumul lebih identik dengan kemalasan. Langkah mundur yang mencitrakan seseorang sedang memasuki masa tidak produktif. Namun bukan makna tersebut yang dikehendaki oleh Ibnu Athaillah di sini. Khumul yang dimaksud di sini adalah tentang hal menjauhi sinar cahaya ketenaran, dan lari dari hal-hal yang menyebabkan terkenal. Masuk pula dalam kategori ini adalah usaha seseorang agar tidak banyak dikenal oleh khalayak ramai.
Dalam rangka menjalani kehidupan suluk, selayaknya seseorang harus pandai-pandai menyembunyikan diri di balik tirai ketidak-tenaran. Hal ini menjadi penting sebagai upaya penjernihan hati dan pendidikan karakter menuju kesejatian diri. Tak bisa dibayangkan jika seorang salik di awal perjalanannya justru berusaha ‘memperkenalkan diri pada dunia’, bukan tidak mungkin usaha yang ia lakukan menjadi sia-sia lantaran terkontaminasi oleh hal yang dapat mengotori tujuan utama.
Bagaimanapun keadaannya, seorang salik yang masih dalam fase awal perjalanan menuju keharibaan Allah, akan kesulitan untuk mengendalikan ego dan jeratan nafsu bejat lainnya. Tak bisa dibayangkan jika ia justru memilih jalan kemasyhuran sebagai tantangan. Ketidak siapan mental malah akan menajadikannya terbuai. Lengah dan lupa terhadap labuhan utama dalam perjalanannya. Oleh sebab itu, khumul ditengarai sebagai sarana jitu untuk memupuk kesiapan mental dalam rangka pencarian kesejatian diri.
Kemudian Ibnu Athaillah melakukan sebuah pendekatan pemahaman yang begitu apik melalui lanjutan hikmahnya ini. Ia mengajak kita untuk mengamati proses tumbuh kembang pada tumbuhan. Maka akan kita dapati suatu titik temu dengan inti kajian dalam hikmah kali ini. Jika kita amati tumbuhan yang mampu berkembang dengan sempurna; dahan yang kuat, dedaunan rindang nan lebat hingga buah segar dalam kuantitas yang banyak, maka kita temukan pada pohon yang akarnya ditanam secara sempurna pada sebidang tanah.

Membiarkan benih mengendap dipermukaan tanah, akan memperlambat proses tumbuh kembang. Alih-alih akan menjadi bibit siap tanam, dalam waktu dekat benih tersebut mati diterpa angin dan terkena paparan sinar matahari. Inilah pesan yang ingin disampaikan oleh Ibnu Ahaillah dalam hikmah ke sebelas ini. Baik manusia maupun tumbuhan memiliki proses tumbuh kembang yang sama; jika ditanam dalam-dalam akan tumbuh sempurna, dan jika dibiarkan di permukaan akan terhambat perkembangannya.
Adakah dalil yang mendasari hikmah mengenai pentingnya khumul ini? Jawabannya adalah tentu saja ada. Mari kita mengkaji kembali sirah perjalanan Sayyidil Wujud Rasulullah SAW. Kita temukan di sana data perihal kegemaran Nabi menyendiri di gua Hira’. Aktifitas ini menjadi pondasi kokoh untuk menyebarkan misi rihlah nabawiyah yang beliau lakukan selanjutnya. Banyak riwayat sahih menceritakan hal ini. Bahwa setiap malam beliau habiskan dalam tafakkur dan penghayatan dalam kesendirian. Apa yang Nabi lakaukan ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal lahirnya istilah khumul dalam dunia suluk. Dari sini, jika dalam perjalanan Nabi sebagai manusia paripurna masih membutuhkan proses khumul, maka kita sebagai manusia biasa tentu lebih membutuhkannya bukan?.
Ada tiga hal yang mesti dipenuhi oleh seorang salik yang ingin berbaur dengan komunitas disekitarnya. Jika tiga poin ini mampu ia kuasai dengan sempurna, maka proses khumul menjadi tidak begitu penting. Aka tetapi jika tiga hal ini belum bisa diinternlisir secara sempurna dalam diri salik, maka ia dituntut untuk meredam nafsunya untuk berbaur dengan khalayak ramai. Ia perlu melakukan proses khumul dalam rangka caracter building seperti yang dipaparkan di atas.
Pertama, ilmu. Maka jangan sekali-kali seorang salik membuka suatu pembicaraan di hadapan orang lain mengenai apa yang ia duga sebagai kebenaran, tanpa didasari keimuan yang memadai. Kedua, penjernihan hati. Kedua, penjernihan nafsu. Karakter nafsu selalu mengajak pada kejelekan. Nafsulah yang mengajak seseorang untuk ingin menajdi pemimpin, ingin tampil di muka umum, ingin selalu unggul dari yang lain. Nafsu pula yang membawa seseorang memiliki niatan bagaimana agar salatnya lebih baik dari yang lain. Semua ini adalah penghambat bagi salik. Tentu harus diredam dengan mengkebiri nafsu terlebih dahulu. Ketiga, penyucian hati dari cinta dunia. Hati seseorang dihujani oleh cinta dan keinginan. Ingin kaya, ingin mobil, cinta harta, cinta istri, cinta, cinta anak, dan gila pangkat yang semua ini dikatakan oleh Allah sebagai al-Andâd. Hal-hal yang menjadikan hati manusia kehilangan fokus untuk sampai pada Allah. Hati manusia harus steril dari cinta-cinta yang melalaikannya dari Allah.

Dapatkah tiga poin di atas dipelajari di bangku madrasah? Kira-kira lembaga mana yang memiliki tujuan pendidikan begitu mulia seperti itu?. Tentu tidak banyak, atau barang kali tidak ada sama sekali. Tiga poin di atas hanya bisa dicapai dengan membiasakan diri untuk berkhumul. Dalam proses khumul ini ia akan menemukan kesejatian diri; kesadaran sebagai hamba bagi Tuhannya. Jika seseorang menyadari posisi dirinya sebagai hamba yang dimiliki Allah, maka akan sirna dari hatinya posisi makhluk.
Akhirân, seseorang bertanya, “Mengapa saya sulit sekali untuk khusyu’ dan ikhlas? Mengapa riya’ senantisa membatin dalam hati saya?.” Perasaan riya’ menghampiri aktivitas hamba, karena ia merasa ada pihak lain selain Allah yang pantas untuk menikmati persembahan ibadahnya. Ia tak kuasa mengejawantahkan hakikat makna ‘La haula walâ quwwata illa billâh’. Wallâhu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar