ادْفِنْ وُجودَكَ في أَرْضِ الخُمولِ، فَما نَبَتَ مِمّا لَمْ يُدْفَنْ لا يَتِمُّ نِتاجُهُ
"Benamkan dirimu
di tanah ketidaktenaran. Sesuatu yang tumbuh dipermukaan (tanpa ditanam), tak akan
sempurna hasilnya."
Hikmah ini berbicara tentang khumul.
Sebuah istilah yang begitu akrab terdengar di dalam dunia suluk. Said Ramadhan
al-Buthi menjelaskan panjang lebar akan hal itu. Berikut uraian singkatnya.
Secara bahasa khumul lebih identik
dengan kemalasan. Langkah mundur yang mencitrakan seseorang sedang memasuki
masa tidak produktif. Namun bukan makna tersebut yang dikehendaki oleh Ibnu
Athaillah di sini. Khumul yang dimaksud di sini adalah tentang hal menjauhi
sinar cahaya ketenaran, dan lari dari hal-hal yang menyebabkan terkenal. Masuk
pula dalam kategori ini adalah usaha seseorang agar tidak banyak dikenal oleh
khalayak ramai.
Dalam rangka menjalani kehidupan
suluk, selayaknya seseorang harus pandai-pandai menyembunyikan diri di balik
tirai ketidak-tenaran. Hal ini menjadi penting sebagai upaya penjernihan hati
dan pendidikan karakter menuju kesejatian diri. Tak bisa dibayangkan jika
seorang salik di awal perjalanannya justru berusaha ‘memperkenalkan diri pada
dunia’, bukan tidak mungkin usaha yang ia lakukan menjadi sia-sia lantaran
terkontaminasi oleh hal yang dapat mengotori tujuan utama.
Bagaimanapun keadaannya, seorang
salik yang masih dalam fase awal perjalanan menuju keharibaan Allah, akan
kesulitan untuk mengendalikan ego dan jeratan nafsu bejat lainnya. Tak bisa
dibayangkan jika ia justru memilih jalan kemasyhuran sebagai tantangan. Ketidak
siapan mental malah akan menajadikannya terbuai. Lengah dan lupa terhadap
labuhan utama dalam perjalanannya. Oleh sebab itu, khumul ditengarai sebagai
sarana jitu untuk memupuk kesiapan mental dalam rangka pencarian kesejatian
diri.
Kemudian Ibnu Athaillah melakukan
sebuah pendekatan pemahaman yang begitu apik melalui lanjutan hikmahnya ini. Ia
mengajak kita untuk mengamati proses tumbuh kembang pada tumbuhan. Maka akan
kita dapati suatu titik temu dengan inti kajian dalam hikmah kali ini. Jika
kita amati tumbuhan yang mampu berkembang dengan sempurna; dahan yang kuat,
dedaunan rindang nan lebat hingga buah segar dalam kuantitas yang banyak, maka
kita temukan pada pohon yang akarnya ditanam secara sempurna pada sebidang
tanah.
Membiarkan benih mengendap
dipermukaan tanah, akan memperlambat proses tumbuh kembang. Alih-alih akan
menjadi bibit siap tanam, dalam waktu dekat benih tersebut mati diterpa angin
dan terkena paparan sinar matahari. Inilah pesan yang ingin disampaikan oleh
Ibnu Ahaillah dalam hikmah ke sebelas ini. Baik manusia maupun tumbuhan
memiliki proses tumbuh kembang yang sama; jika ditanam dalam-dalam akan tumbuh
sempurna, dan jika dibiarkan di permukaan akan terhambat perkembangannya.
Adakah dalil yang mendasari hikmah
mengenai pentingnya khumul ini? Jawabannya adalah tentu saja ada. Mari kita
mengkaji kembali sirah perjalanan Sayyidil Wujud Rasulullah SAW. Kita
temukan di sana data perihal kegemaran Nabi menyendiri di gua Hira’. Aktifitas
ini menjadi pondasi kokoh untuk menyebarkan misi rihlah nabawiyah yang
beliau lakukan selanjutnya. Banyak riwayat sahih menceritakan hal ini. Bahwa
setiap malam beliau habiskan dalam tafakkur dan penghayatan dalam kesendirian.
Apa yang Nabi lakaukan ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal lahirnya
istilah khumul dalam dunia suluk. Dari sini, jika dalam perjalanan Nabi sebagai
manusia paripurna masih membutuhkan proses khumul, maka kita sebagai manusia
biasa tentu lebih membutuhkannya bukan?.
Ada tiga hal yang mesti dipenuhi
oleh seorang salik yang ingin berbaur dengan komunitas disekitarnya. Jika tiga
poin ini mampu ia kuasai dengan sempurna, maka proses khumul menjadi tidak
begitu penting. Aka tetapi jika tiga hal ini belum bisa diinternlisir secara
sempurna dalam diri salik, maka ia dituntut untuk meredam nafsunya untuk
berbaur dengan khalayak ramai. Ia perlu melakukan proses khumul dalam rangka caracter
building seperti yang dipaparkan di atas.
Pertama, ilmu. Maka jangan
sekali-kali seorang salik membuka suatu pembicaraan di hadapan orang lain
mengenai apa yang ia duga sebagai kebenaran, tanpa didasari keimuan yang
memadai. Kedua, penjernihan hati. Kedua, penjernihan nafsu. Karakter
nafsu selalu mengajak pada kejelekan. Nafsulah yang mengajak seseorang untuk
ingin menajdi pemimpin, ingin tampil di muka umum, ingin selalu unggul dari
yang lain. Nafsu pula yang membawa seseorang memiliki niatan bagaimana agar
salatnya lebih baik dari yang lain. Semua ini adalah penghambat bagi salik.
Tentu harus diredam dengan mengkebiri nafsu terlebih dahulu. Ketiga,
penyucian hati dari cinta dunia. Hati seseorang dihujani oleh cinta dan
keinginan. Ingin kaya, ingin mobil, cinta harta, cinta istri, cinta, cinta
anak, dan gila pangkat yang semua ini dikatakan oleh Allah sebagai al-Andâd.
Hal-hal yang menjadikan hati manusia kehilangan fokus untuk sampai pada Allah.
Hati manusia harus steril dari cinta-cinta yang melalaikannya dari Allah.
Dapatkah tiga poin di atas
dipelajari di bangku madrasah? Kira-kira lembaga mana yang memiliki tujuan
pendidikan begitu mulia seperti itu?. Tentu tidak banyak, atau barang kali
tidak ada sama sekali. Tiga poin di atas hanya bisa dicapai dengan membiasakan
diri untuk berkhumul. Dalam proses khumul ini ia akan menemukan kesejatian
diri; kesadaran sebagai hamba bagi Tuhannya. Jika seseorang menyadari posisi
dirinya sebagai hamba yang dimiliki Allah, maka akan sirna dari hatinya posisi
makhluk.
Akhirân, seseorang
bertanya, “Mengapa saya sulit sekali untuk khusyu’ dan ikhlas? Mengapa riya’ senantisa
membatin dalam hati saya?.” Perasaan riya’ menghampiri aktivitas hamba, karena
ia merasa ada pihak lain selain Allah yang pantas untuk menikmati persembahan
ibadahnya. Ia tak kuasa mengejawantahkan hakikat makna ‘La haula walâ
quwwata illa billâh’. Wallâhu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar