Konon, sarung merupakan bukan dari ciri khas penduduk
Indonesia sendiri. Sarung berasal dari orang daratan Yaman, ketika beridentitas
orang Yaman selalu tidak bisa lepas dari sarung, dan di luarnya dilapisi dengan
jubah. Mungkin, secara tidak langsung, sarung merupakan produk warga Indonesia,
melainkan produk orang lain. Namun, sepanjang sejarah, masuknya agama Islam ke
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ulama Yaman. Sebut saja Mbah Sayyid
Sulaiman (pendiri Pondok Pesantren Sidogiri), beliau berasal dari Yaman dan
akhirnya berdakwah ke Indonesia. Singkat cerita, beliau menancapkan tongkat di
ubun-ubun Sidogiri, tanpa seremonial, tanpa pesta gagap gempita, dan tanpa menyampaikan
visi-misi. Semua karena niat tulus kepada Allah SWT semata, pada akhirnya bisa bertahan
hingga sekarang. Tentunya, menurut hemat penulis, beliau juga mengenalkan pakaian
yang berasal dari daerahnya sendiri. Pada akhirnya, lambat laun mereka juga
menggunakan sarung. Mbah Sulaiman sekedar contoh, namun Islam di Indonesia banyak
dibawa oleh para wali dari negeri Yaman. Pada akhirnya, sarung diperkenalkan dan
eksis hingga sekarang sebagai warisan budaya yang perlu untuk dipertahankan.
Pada umumnya pondok pesantren tidak bisa lepas dari
sarung, khsusnya Pondok Pesantren Sidogiri hingga sekarang tetap memakai sarung
dalam menjalani aktivitas. Di sinilah kelebihan santri, dari segi berpakaian
saja masih tetap mempertahankan budaya pakaian, tidak seperti pendidikan luar cara
berpakaiannya mengikuti zaman. Sehingga, dengan pendidikan luar tidak bisa
mempertahankan kebudayaanya sendiri, sangat berbeda dengan di pondok pesantren.
Penting untuk diberitahukan di sini, bahwa sebagian
dari kita (santri) ada yang merasa tidak penting untuk memakai sarung. Alasan
mereka, tidak mengikuti perkembangan zaman, tidak gaul dan merasa orang jadul. Sepintas
sebagian alasan ini agak benar, melihat kenyataan orang bersarung seakan tidak
tahu apa-apa, tapi pemikiran semacam ini perlu diluruskan, agar tidak salah
persepsi. Sarung merupakan sebuah lambang kebudayaan. Kita tahu, Kiai Hasyim
Asy’ari yang membantu Bung Tomo dari cengkraman Belanda. Sehingga dengan
bantuan kaum sarungan ini, Belanda bisa dipukul telak oleh santri bersarung
yang diutus oleh Kiai Hasyim Asy’ari.
Di era modern orang yang berdarah santri atau
bersarung bisa menjadi orang nomor wahid di Indonesia, Gus Dur orang
mengenalnya. Dari kaum bersarungan tidak putus di situ saja, orang nomor satu
di Jawa Timur saat ini, Gus Ipul juga berdarah sarungan. Maka marilah kita berpikir
sejenak, sarung merupakan bukan lambang keterbelakangan seseorang, tapi itulah sebuah
identitas kebudayaan Indonesia. Marilah kita pertahankan sarung sebagai lambang
kebudayaan santri.
0 komentar:
Posting Komentar