Minggu, 04 Desember 2016

Sarung


Konon, sarung merupakan bukan dari ciri khas penduduk Indonesia sendiri. Sarung berasal dari orang daratan Yaman, ketika beridentitas orang Yaman selalu tidak bisa lepas dari sarung, dan di luarnya dilapisi dengan jubah. Mungkin, secara tidak langsung, sarung merupakan produk warga Indonesia, melainkan produk orang lain. Namun, sepanjang sejarah, masuknya agama Islam ke Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ulama Yaman. Sebut saja Mbah Sayyid Sulaiman (pendiri Pondok Pesantren Sidogiri), beliau berasal dari Yaman dan akhirnya berdakwah ke Indonesia. Singkat cerita, beliau menancapkan tongkat di ubun-ubun Sidogiri, tanpa seremonial, tanpa pesta gagap gempita, dan tanpa menyampaikan visi-misi. Semua karena niat tulus kepada Allah SWT semata, pada akhirnya bisa bertahan hingga sekarang. Tentunya, menurut hemat penulis, beliau juga mengenalkan pakaian yang berasal dari daerahnya sendiri. Pada akhirnya, lambat laun mereka juga menggunakan sarung. Mbah Sulaiman sekedar contoh, namun Islam di Indonesia banyak dibawa oleh para wali dari negeri Yaman. Pada akhirnya, sarung diperkenalkan dan eksis hingga sekarang sebagai warisan budaya yang perlu untuk dipertahankan.
Pada umumnya pondok pesantren tidak bisa lepas dari sarung, khsusnya Pondok Pesantren Sidogiri hingga sekarang tetap memakai sarung dalam menjalani aktivitas. Di sinilah kelebihan santri, dari segi berpakaian saja masih tetap mempertahankan budaya pakaian, tidak seperti pendidikan luar cara berpakaiannya mengikuti zaman. Sehingga, dengan pendidikan luar tidak bisa mempertahankan kebudayaanya sendiri, sangat berbeda dengan di pondok pesantren.
Penting untuk diberitahukan di sini, bahwa sebagian dari kita (santri) ada yang merasa tidak penting untuk memakai sarung. Alasan mereka, tidak mengikuti perkembangan zaman, tidak gaul dan merasa orang jadul. Sepintas sebagian alasan ini agak benar, melihat kenyataan orang bersarung seakan tidak tahu apa-apa, tapi pemikiran semacam ini perlu diluruskan, agar tidak salah persepsi. Sarung merupakan sebuah lambang kebudayaan. Kita tahu, Kiai Hasyim Asy’ari yang membantu Bung Tomo dari cengkraman Belanda. Sehingga dengan bantuan kaum sarungan ini, Belanda bisa dipukul telak oleh santri bersarung yang diutus oleh Kiai Hasyim Asy’ari.
Di era modern orang yang berdarah santri atau bersarung bisa menjadi orang nomor wahid di Indonesia, Gus Dur orang mengenalnya. Dari kaum bersarungan tidak putus di situ saja, orang nomor satu di Jawa Timur saat ini, Gus Ipul juga berdarah sarungan. Maka marilah kita berpikir sejenak, sarung merupakan bukan lambang keterbelakangan seseorang, tapi itulah sebuah identitas kebudayaan Indonesia. Marilah kita pertahankan sarung sebagai lambang kebudayaan santri.



0 komentar:

Posting Komentar