Jumat, 23 Desember 2016

Puisi Bukan Rumah Orang-orang Gila

Puisi Bukan Rumah Orang-orang Gila

Puisi bukan rumah orang-orang gila
Menulis adalah hal yang menyenangkan. Sebuah waktu dimana kita dipaksa untuk menyalurkan apa yang menjadi unek-unek didalam fikiran kita atau apa yang kta ketahui dan merasa penting untuk diketahui orang-orang atau sekedar sebagai pengingat (tanbih) baru bagi mereka.
Sastra, khususnya dalam genre puisi, tidak ada bedanya dengan tulisan-tulisan lainnya. Sastra adalah sebuah komunikasi bukan hanya sebatas menyalurkan yang mereka bilang itu seni, walaupun setinggi sastra Sutardi Colzum Bahri dalam koredo mantra puisinya yang sering memuisikan sebuah kematian atau puisi angkatan abad 20 sekelas nama Afrizal Malna yang fokus puisinya dengan “hal-hal dibelakang rumahnya”, sebuah puisi untuk kehidupan kita hususnya Indonesia.
Mungkin diantara kita sering mendengar bagaimana kehebatan Al-Quran walaupun Al-Quran sendiri menolak ia dikatakan sebuah syair bagaimana ia menundukkan hati raja Habasyah atau menundukkan si Singa Padang Pasir Sayyidini Umar?. Al-Quran adalah kalamullah yang kemudian agar bisa memasuki pemahaman manusia direpresentasikan melalui sebuah kata. Dan juga mungkin kalian pernah mendengar seorang penulis Indonesia yang pada awal karir menulis puisi ia berikan hasil karya puisi pertamanya kepada seorang wanita, yang kemudian ia mendapatkan hadiah tamparan dari tangan wanita tersebut.
Kata dalam puisi memang berbeda dengan kata dalam bentuk artikel atau opini atau bahkan tuilsan dalam genre sastra lainnya. Kata dalam puisi bagaimana seseorang memilih diksi dan juga menyatukan dengan ritme musikalisasi pada sebuah hati. Sebab keberhasilan sastra bukan hanya bermain dalam kolam kata. Keberhasilan sastra bagaimana ia mendapatkan minat untuk dibaca oleh para pembaca. Baik minat itu dalam segi untuk dibca, difikirkan atau didengar. Dan juga baik minat itu bisa diartikan akan menimbulkan sebuah kesenangan sari hari pembaca, rasa kasihan atau malah akan berkosekuensi pada kemarahan. Maka tak heran jika kemudia WS Rendra sehabis membacakan puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacaur-Pelacur Kota Jakarta di Taman Ismail Marzuqi ia lantas dibawa polisi untuk kemudian dijebloskan kedalam penjara.
Kembali pada awal pembahasan. Selaras dengan apa yang dikatakan Joni Ardianta seorang cerpenis dan juga pernah menjadi apresiaotor cerpen majalah Ijtihad ini mengatakan bahwa, seni (termasuk juga puisi) bukah hanya untuk seni semata tapi seni itu adalah alat untuk komunikasi. Mungkin seperti itu apa yang dikatakan oleh mantan tukang becak yang sekarang ia benar-benar menulis sebagai alat komunikasi dari dirinya, dari jiwa orang lain yang ia tangkap dan lainnya.
Sastra adalah bumi bagi santri, sebab kitab suci seorang muslim saja sudah menuai beberapa kata yang sudah ada dalam kesusasteraan saat ini. Dari letak personifikasi, majas dan juga simbol-simbol yang teramat jeli dalam pengucapan satu demi satu kata dari Al-Quran itu sendiri.
Pemilihan kata ini atau yang biasa kita sebut diksi adalah hal yang sangat intens menentukan sampainya sebuah kata yang kita ucapkan atau malah hanya akan ditertawakan.
Kita lihat dari beberapa kata yang ada baik dalam Al-Quran atau puisi yang sering kita temukan. Kita simak sebuah ayat yang ada dalam Al-Quran.
“apakah kalian tidak melihat bagaimana bumi ditegakkan, dan apakah kalian tidak melihat bagaimana langit ditinggikan”
Seoserang yang tidak biasa atau pun seorang penyair sendiri diharuskan untuk berperang dengan diri dan perasaannya biar apa yang dikatakan tidak hanya sepintas kata seperti apa yang terkandung dalam ayat Al-Quran tadi. Kenapa Al-Quran tidak mengatakan “apakah kalian tidak melihat bumi dijadikan” dengan mengganti “ditegakkan” dengan “dijadikan” atau malah Al-Quran mengatakan “apakah kalian tidak melihat bumi ditegakkan” tanpa mengatakan tanda tanya “bagaimana”?. Kedalaman kata dalam memilih sebuah diksi adalah bukti kedalaman makna dan kedalam ruh dalam sebuah puisi. Antara perang pikir, hati dengan kata itu sendiri.
Diksi adalah hal pertama yang harus digeluti seorang penyair pemula, dan ia harus selalu berfkir agar apa yang dikatakannya agar tidak hanya sebatas kata yang klise yang sudah dikatakan oleh orang-orang sebelum ia lahir atau kata tersebut tak berujung makna apa-apa.
Kita lihat pada sebuah puisi teman kita pada majalah Ijtihad edisi 46. Pada puisi Syaihun Nafahad, dia menggambarkan kesedihan dengan apa yan ia ceritakan dalam sebuah puisinya :
kutulis puisi ini, setelah ceritamu tentang langit mendung/huja dari perasaan-perasaan almanak, pintu yang membengkak,/dindign yang penuh dengan bercak pelu, keluh, tawa yang menyusut nyawa/ dan kau bilang air mata bukan satu-satunya arus untuk selalu dianut alirnya”
pernahkah kita berfikir kenapa dia (Syaihun) tidak menggunakan kata air mata atau sebuah kesedihan yang terdalam dalam menggambarkan semua, dia malah menghadirkan langit mendung,hujan dari perasaan almanak, didingding yang bercak peluh, dan kemudian kata petua ia mengatakan agar seorang tidak hanya terpaku kepada tangisan ia berkata “dan kau bilang air mata bukan satu-satunya arus untuk selalu dianut alirnya”.

Puisi Bukan Rumah Orang-orang Gila

Ia mencoba agar apa yang ia pikirkan benar bukan hanya sebabatas berseni yang tanpa arti namun ia memadukannya sebagai alat komunikasi ulung yang ia harapkan hadir sebagai ruh yang kemudian menjadi apa yang dirasakan penyair bisa sampai kepada segenap pembaca. Banyak presepsi mengatakan bahwa seorang penyair kebanyakan orang-orang yang gila. Padahal presepsi itu amatlah salah, terlalu banyak berfikir, bagaimana ia mendarah daging dengan apa yang ingin disampaiakan mungkin adalah salah satu motivasi sebagaimana salah satu cerita dari salah satu penyair yang ingin menulis puisi tentang lapar ia tidak makan selama 3 hari atau sebuah cerita dari seorang cerpenis yang mana ia akan setia menemani cafe untuk mencari segenap inspirasi dari orang-orang yang ia lihat. Benar sekali apa yang dikatakan Rendra bahwa puisi tidaklah lahir dari hanya duduk diatas kursi mencari inspirasi, tapi penyair diharuskan turun juga kejalan-jalan”. Dan puisi saya katakan kembali bukan hanya sebatas permainan kata. Penyair didalam puisi diharuskan meniupkan ruh dalam kata, dengan cara selalu berfikir, mencari kata yang tepat dan sebagainya. Sekali lagi marilah menulis sastra, sastra bukan rumah orang-orang gila tapi sastra adalah rumah bersama untuk menyampaikan isi hati diri sendiri dan isi hati orang-orang melalui sebuah kata yang didalam kata tersebut sudah kita tiupkan ruh dalam upaya pemilihan kata tersebut dan upaya agar kata itu bisa sampai dan langsung dirasakan oleh pembaca akan bius kata itu. 
Selamat menulis. Write it’ fun in the life.

0 komentar:

Posting Komentar