Puisi bukan rumah orang-orang gila
Menulis adalah hal yang menyenangkan. Sebuah
waktu dimana kita dipaksa untuk menyalurkan apa yang menjadi unek-unek didalam
fikiran kita atau apa yang kta ketahui dan merasa penting untuk diketahui
orang-orang atau sekedar sebagai pengingat (tanbih) baru bagi mereka.
Sastra, khususnya dalam genre puisi, tidak ada
bedanya dengan tulisan-tulisan lainnya. Sastra adalah sebuah komunikasi bukan
hanya sebatas menyalurkan yang mereka bilang itu seni, walaupun setinggi sastra
Sutardi Colzum Bahri dalam koredo mantra puisinya yang sering memuisikan sebuah
kematian atau puisi angkatan abad 20 sekelas nama Afrizal Malna yang fokus
puisinya dengan “hal-hal dibelakang rumahnya”, sebuah puisi untuk kehidupan
kita hususnya Indonesia.
Mungkin diantara kita sering mendengar bagaimana
kehebatan Al-Quran walaupun Al-Quran sendiri menolak ia dikatakan sebuah syair
bagaimana ia menundukkan hati raja Habasyah atau menundukkan si Singa Padang
Pasir Sayyidini Umar?. Al-Quran adalah kalamullah yang kemudian agar bisa memasuki
pemahaman manusia direpresentasikan melalui sebuah kata. Dan juga mungkin
kalian pernah mendengar seorang penulis Indonesia yang pada awal karir menulis
puisi ia berikan hasil karya puisi pertamanya kepada seorang wanita, yang
kemudian ia mendapatkan hadiah tamparan dari tangan wanita tersebut.
Kata dalam puisi memang berbeda dengan kata
dalam bentuk artikel atau opini atau bahkan tuilsan dalam genre sastra lainnya.
Kata dalam puisi bagaimana seseorang memilih diksi dan juga menyatukan dengan
ritme musikalisasi pada sebuah hati. Sebab keberhasilan sastra bukan hanya bermain
dalam kolam kata. Keberhasilan sastra bagaimana ia mendapatkan minat untuk
dibaca oleh para pembaca. Baik minat itu dalam segi untuk dibca, difikirkan
atau didengar. Dan juga baik minat itu bisa diartikan akan menimbulkan sebuah
kesenangan sari hari pembaca, rasa kasihan atau malah akan berkosekuensi pada
kemarahan. Maka tak heran jika kemudia WS Rendra sehabis membacakan puisinya
yang berjudul Bersatulah Pelacaur-Pelacur Kota Jakarta di Taman Ismail
Marzuqi ia lantas dibawa polisi untuk kemudian dijebloskan kedalam penjara.
Kembali pada awal pembahasan. Selaras dengan
apa yang dikatakan Joni Ardianta seorang cerpenis dan juga pernah menjadi
apresiaotor cerpen majalah Ijtihad ini mengatakan bahwa, seni (termasuk juga
puisi) bukah hanya untuk seni semata tapi seni itu adalah alat untuk
komunikasi. Mungkin seperti itu apa yang dikatakan oleh mantan tukang becak
yang sekarang ia benar-benar menulis sebagai alat komunikasi dari dirinya, dari
jiwa orang lain yang ia tangkap dan lainnya.
Sastra adalah bumi bagi santri, sebab kitab
suci seorang muslim saja sudah menuai beberapa kata yang sudah ada dalam
kesusasteraan saat ini. Dari letak personifikasi, majas dan juga simbol-simbol
yang teramat jeli dalam pengucapan satu demi satu kata dari Al-Quran itu
sendiri.
Pemilihan kata ini atau yang biasa kita sebut
diksi adalah hal yang sangat intens menentukan sampainya sebuah kata yang kita
ucapkan atau malah hanya akan ditertawakan.
Kita lihat dari beberapa kata yang ada baik
dalam Al-Quran atau puisi yang sering kita temukan. Kita simak sebuah ayat yang
ada dalam Al-Quran.
“apakah kalian tidak melihat bagaimana bumi
ditegakkan, dan apakah kalian tidak melihat bagaimana langit ditinggikan”
Seoserang yang tidak biasa atau pun seorang
penyair sendiri diharuskan untuk berperang dengan diri dan perasaannya biar apa
yang dikatakan tidak hanya sepintas kata seperti apa yang terkandung dalam ayat
Al-Quran tadi. Kenapa Al-Quran tidak mengatakan “apakah kalian tidak melihat
bumi dijadikan” dengan mengganti “ditegakkan” dengan “dijadikan”
atau malah Al-Quran mengatakan “apakah kalian tidak melihat bumi ditegakkan”
tanpa mengatakan tanda tanya “bagaimana”?. Kedalaman kata dalam memilih
sebuah diksi adalah bukti kedalaman makna dan kedalam ruh dalam sebuah puisi.
Antara perang pikir, hati dengan kata itu sendiri.
Diksi adalah hal pertama yang harus digeluti
seorang penyair pemula, dan ia harus selalu berfkir agar apa yang dikatakannya
agar tidak hanya sebatas kata yang klise yang sudah dikatakan oleh orang-orang
sebelum ia lahir atau kata tersebut tak berujung makna apa-apa.
Kita lihat pada sebuah puisi teman kita pada
majalah Ijtihad edisi 46. Pada puisi Syaihun Nafahad, dia menggambarkan kesedihan
dengan apa yan ia ceritakan dalam sebuah puisinya :
“kutulis puisi ini,
setelah ceritamu tentang langit mendung/huja dari perasaan-perasaan almanak,
pintu yang membengkak,/dindign yang penuh dengan bercak pelu, keluh, tawa yang
menyusut nyawa/ dan kau bilang air mata bukan satu-satunya arus untuk selalu
dianut alirnya”
pernahkah kita berfikir kenapa dia (Syaihun)
tidak menggunakan kata air mata atau sebuah kesedihan yang terdalam dalam
menggambarkan semua, dia malah menghadirkan langit mendung,hujan dari perasaan
almanak, didingding yang bercak peluh, dan kemudian kata petua ia mengatakan
agar seorang tidak hanya terpaku kepada tangisan ia berkata “dan kau bilang
air mata bukan satu-satunya arus untuk selalu dianut alirnya”.
Ia mencoba agar apa yang ia pikirkan benar bukan hanya sebabatas
berseni yang tanpa arti namun ia memadukannya sebagai alat komunikasi ulung
yang ia harapkan hadir sebagai ruh yang kemudian menjadi apa yang dirasakan
penyair bisa sampai kepada segenap pembaca. Banyak presepsi mengatakan bahwa
seorang penyair kebanyakan orang-orang yang gila. Padahal presepsi itu amatlah
salah, terlalu banyak berfikir, bagaimana ia mendarah daging dengan apa yang
ingin disampaiakan mungkin adalah salah satu motivasi sebagaimana salah satu
cerita dari salah satu penyair yang ingin menulis puisi tentang lapar ia tidak
makan selama 3 hari atau sebuah cerita dari seorang cerpenis yang mana ia akan
setia menemani cafe untuk mencari segenap inspirasi dari orang-orang yang ia
lihat. Benar sekali apa yang dikatakan Rendra bahwa puisi tidaklah lahir dari
hanya duduk diatas kursi mencari inspirasi, tapi penyair diharuskan turun juga
kejalan-jalan”. Dan puisi saya katakan kembali bukan hanya sebatas permainan
kata. Penyair didalam puisi diharuskan meniupkan ruh dalam kata, dengan cara
selalu berfikir, mencari kata yang tepat dan sebagainya. Sekali lagi marilah
menulis sastra, sastra bukan rumah orang-orang gila tapi sastra adalah rumah
bersama untuk menyampaikan isi hati diri sendiri dan isi hati orang-orang
melalui sebuah kata yang didalam kata tersebut sudah kita tiupkan ruh dalam
upaya pemilihan kata tersebut dan upaya agar kata itu bisa sampai dan langsung
dirasakan oleh pembaca akan bius kata itu.
Selamat menulis. Write it’ fun in
the life.
0 komentar:
Posting Komentar