Kamis, 08 Desember 2016

Membutakan Cinta atau Dibutakan Cinta?!


فَوَاللهِ مَا أَدْرِيْ أَزِيْدَتْ مَلَاحَةً وَحَسَنًا عَلَى النِّسْوَانِ أَمْ لَيْسَ لِيْ عَقْلٌ
Demi Allah! Entah, apakah karena dia (orang yang dicintai) semakin cantik menawan atau memang aku yang sudah tergila-gila?
Ungkapan semacam ini sering kali kita dengar dari para pencinta. Dalam konteks ini, baik yang tua maupun yang muda tidak ada sekat pembeda. Semuanya sama. Praktik yang halal dan yang haram pun sudah tidak jauh beda ruang asmaranya. Karenanya, perlu di sini disuguhkan sekat dan batas dalam mengekspresikan dan melampiaskan rasa yang tengah menganga di dada.
Secara umum, motivator adanya cinta yang bersemi di dada itu hanya karena rasa yang tengah bergelora yang menyuburkan keinginan, ketertarikan, dan kecocokan yang tumbuh bersama sesuatu yang dikagumi. Semakin kuat kekaguman seseorang akan sesuatu maka semakin kuat pula rasa cinta yang akan membara.[1] Begitupun sebaliknya.
Tentu, sesuatu yang mengagumkan itu relatif. Semua orang memilik perspektif masing-masing dalam menilai hal ini. Terkhusus masalah wanita, Rasulullah pernah menuturkan, “Perempuan itu dinikahi (oleh seorang pria) karena empat alasan; karena kecantikannya, kekayaannya, garis keturunannya, dan karena agamanya.”.

Mayoritas dari kita, raup wajah seakan menjadi harga prioritas dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Jika raup wajah bermasalah maka ikatan yang hendak kita jalin dalam lingkaran asmara, pinang pun harus kandas. Mereka berdalih, nadhar (melihat calon tunangan) dalam meminang wanita saat meminang itu dimaksudkan sebagai barometer, apakah hubungan tersebut akan diteruskan atau tidak. Mereka menambahkan, cinta itu lahir dari mata. Sedangkan sesuatu yang dilihat pertama kali oleh mata adalah raup wajah. Makanya, hal pertama yang harus dinilai adalah raup wajah. Begitulah cinta membutakan para pencinta.
Perlu diingat, cinta bersemi tidak hanya semata karena kecantikan. Bahkan, cinta yang bermula karena hanya kecantikan banyak kandas di tengah jalan. Alasannya sederhana, karena usia kecantikan tidak selama umur jagung. Di samping itu, nadhar sebelum meminang itu bukan tolok ukur, bahkan perannya hanya sebatas pemoles rasa dalam bingkai asmara. Karenanya, tanpa pemoles, cinta masih bisa bertahan dan bahkan berkembang.
Terkait dengan statemen, berawal dari pandangan mata lalu cinta akan bersemi tidak melulu benar. Sebab, yang memiliki otoritas dalam menentukan sesuatu dengan bijak adalah hati. Mata hanya mentransfer ke hati untuk selanjutnya ia tunduk pasrah dengan keputusan hati. Ini tidak boleh dibalik.
Sebagian mereka masih mengela, Rasulullah bersabda, “Wanita Shalihah adalah orang yang ketika dilihat menyejukkan hati.”. Tentu, kata mereka, sesuatu yang dipandang pertama kali adalah keindahan wajah. Dengan demikian, masih kata mereka, raup wajah merupakah tolok ukur.
Pernyataan seperti ini juga tidak mutlak benar. Sesuatu yang menyejukkan hati itu beraneka ragam dan tergantung orang yang mau menilai. Jika kita memahaminya dengan birahi mungkin kecantikan yang paling menonjol. Akan tetapi, jika barometernya adalah hati maka suatu yang berorientasi pada ukhrawi yang akan tampil di grand pertama. Oleh karena itu, untuk mencapai esensi cinta, hendaknya jangan menggunakan pola pikir terbalik.
Di samping itu, menjalin hubungan keluarga itu tidak hanya berbatas pada kepentingan birahi dan dunia. Ada kepentingan lain yang urgensitasnya harus lebih diprioritaskan oleh kita, akhirat. Bahkan, dengan mengutamakan kepentingan ini kita bisa meraih kepentingan birahi dan dunia.
Oleh karena itu, hal-hal yang korelasinya itu dengan akhirat harus dijadikan harga mati yang tidak mengenal negosiasi. Gadis rupawan tapi asusila maka cari yang lain. Dan, jika kita dihadapkan dengan pilihan antara gadis rupawan tapi asusila dan gadis beretika tapi tidak rupawan maka kita harus memantapkan diri untuk memilih yang kedua.
Tentu, masalah semacam ini juga berlaku bagi para wanita dalam memilih pasangannya. Mereka juga harus memprioritaskan masalah akhirat daripada urusan dunia. Jika demikian yang dilakukan, maka cinta yang semi akan abadi selamanya, insyaallah!
So, jangan sampai kita dibutakan oleh mata cinta yang ruang lingkupnya seluas daun kelor yang hanya mempertimbangkan kepentingan selera. Kita harus peka dalam menentukan pilihan bibit cinta yang berkualitas, karena pasangan kita itu tidak hanya untuk dijadikan teman di dunia. Di akhirat nanti kita bisa bersama pasangan kita. Endingnya sekarang, hanya ada dua pilihan yang harus diambil, kita membutakan cinta dengan cara seperti penjelasan di muka, atau malah dibutakan oleh cinta yang memang buta. Selamat menentukan pilihan!




[1] Muhammad bin Abî Bakar Ayyûb az-Za’î, Raudlatul Muhibbîn wa Nazhatul Musytâqqîn, Hal: 66, Maktabah Syamilah.

0 komentar:

Posting Komentar