Jumat, 28 Oktober 2016

Santri untuk negeri


Keberadaan lembaga pendidikian (pondok pesantren) berbasis agama, khususnya Islam, diIndonesia memiliki peranan yang sangat penting. Pondok pesantren dimaknai sebagai tempatseseorang untuk mencari ilmu keagamaan yang benar melalui bimbingan-bimbingan para guruyang dianggap memiliki pengetahuan luas terhadap agama oleh masyarakat sekitar.Di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, memiliki banyak pondok  pesantren. Karna itulah pondok pesantren atau pada umumnya dikenal dengan istilah kaum sarungan, merupakan ciri khas dari negara Indonesia. Bahkan bisa dikatakan hampir seluruh daerah, baik kota maupun kabupaten di Indonesia, tidak ada yang tidak memiliki pondok pesantren. Dalam sejarahpun disebutkan bahwa kaum santri sangat berperan untuk kemerdekaan bangsa ini.

Lantas apakah santri NO COMMENT terhadap NKRI?

Kami pernah membaca sebuah meme “Apabila para penjajah datang menyerbu negeri ini, para santri siap berdiri paling depan untuk membelanya. Sedangkan para pejabat akan lari terbirit-birit mencari perlindungan walaupun setiap hari Senin mereka mengangkat tangan hormat kepada bendera”. Kami  kira substansi meme di atas tidak hanya gertakan sambal. Di mata santri memperjuangkan bangsa sendiri hukumnya adalah wajib. Karena bagi mereka membela negara merupakan  jihad fii sabilillah yang telah mengakar kuat dalam jiwanya.
Wejangan dari para guru dan kiai adalah adalah harga mati bagi santri. Karena beliau merupakan sosok figur yang berkarismatik karena keilmuannya. Mungkin kita ingat bagaimana perjuangan santri dan kiai Jawa-Madura di masa  kemerdekaan dalam mempertahankan kedaulatan negara ini. Mereka dengan senjata seadanya dan kobaran api semangat yang tinggi telah membuktikan bahwa bagi mereka mempertahankan tanah air adalah sebuah keniscayaan.

Namun, isu yang berkembang di masyarakat belakangan ini membelot.Santri  ibarat sekelompok manusia yang identik dengan radikalisme dan terorisme. Pondok pesantren yang merupakan pendidikan Islam menjadi kambing hitam para pemangku kepentingan. Santri seolah dipersiapkan untuk mencetak manusia berwatak keras dan ekstrem.

Yang lebih parah lagi, sempat terdengar isu miring dari seorang pejabat terkait kondisi pondok pesantren. Pertama, bahwa ada 19 pesantren yang terindikasi kemasukan teroris. Kedua, masuknya narkoba ke dalam lingkungan pesantren (NU Online, 16 Maret 2016). Hal ini tentu membuat kita tertegun. Benarkah pondok pesantren yang mengedepankan etika dan moral adalah sarang pencetak manusia tak beradab?
Sebagiman sudah terkenal bahwa kehidupan santri sangat erat dengan etika kesopanan. Santri dididik untuk selalu mengamalkan amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bahkan, nilai moral menjadi prioritas utama penentu kelulusan santri, tidak hanya berbarometer angka-angka. Oleh karena itu, sangatlah tidak masuk akal jika tindakan teror dan radikal disematkan di pundak santri.

Karakter Santri Terhadap Negara

Di zaman yang seba absurd serta arus modernitas dan wajah media yang tak menentu, santri dituntut untuk senantiasa menjaga tradisi lama yang baik (almuhafadzotu alal qodimis sholih) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (wal akhdu alal jadidil aslah).
Begitu pun dengan karakter seorang santri yang identik dengan kebhinnekaan harus selalu dilestarikan. Seperti cinta tanah air (hubbul wathan). Mereka tidak hanya diajarkan bagaiman membaca al-Qur’an ataupun kitab kuning, akan tetapi santri telah ditanamkan cara berkecipung di dunia bisnis syariah dan  pendidikan kenegaraan, baik secara individu maupun sosial. Rasa empati dan simpati dalam keseharian santri dengan sesama teman adalah bukti kecil bahwa santri memilik jiwa dan raga yang selalu siap untuk membela negara. Menurut KH. Wahid Hasyim (1950) bahwa jiwa nasionalisme di pesantren (santri) terbangun dari tiga nilai. Yaitu persaudaraan sesama muslim, antar sesama anak bangsa, dan antar sesama manusia.
Santri juga mencintai perdamaian. Kebersamaan yang berkelanjutan membuat santri mencintai perdamaian. Kehidupan yang sama-sama jauh dari sanak famili praktis telah membuka mata santri bahwa hidup itu saling membutuhkan (zoon politicon). Hal ini telah terbukti minimnya tindakan anarkis dikalangan santri. Tidak pernah ada kabar santri pondok pesantren dengan yang pondok yang lain tawuran ataupun urak-urakan. Bahkan santri dididik untuk selalu menjaga kerukuna dengan cara yang sederhana, yaitu dengan hidup yang serba antri dan serba bergantian sesama santrinya dalam pakaian misalnya. Maka tidak heran jika ada wacana”santri itu kalau enggak ngaji ya ngopi.”

0 komentar:

Posting Komentar