Keberadaan
lembaga pendidikian (pondok pesantren) berbasis agama, khususnya Islam, diIndonesia
memiliki peranan yang sangat penting. Pondok pesantren dimaknai sebagai
tempatseseorang untuk mencari ilmu keagamaan yang benar melalui
bimbingan-bimbingan para guruyang dianggap memiliki pengetahuan luas terhadap
agama oleh masyarakat sekitar.Di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Islam, memiliki banyak pondok
pesantren. Karna itulah pondok pesantren atau pada
umumnya dikenal dengan istilah kaum sarungan, merupakan ciri khas dari negara Indonesia.
Bahkan bisa
dikatakan hampir seluruh daerah, baik kota maupun kabupaten di Indonesia, tidak ada yang tidak
memiliki pondok pesantren. Dalam sejarahpun disebutkan bahwa kaum
santri sangat berperan untuk kemerdekaan bangsa ini.
Lantas apakah
santri NO COMMENT terhadap NKRI?
Kami pernah membaca sebuah meme “Apabila
para penjajah datang menyerbu negeri ini, para santri siap berdiri paling depan
untuk membelanya. Sedangkan para pejabat akan lari terbirit-birit mencari
perlindungan walaupun setiap hari Senin mereka mengangkat tangan hormat kepada
bendera”. Kami kira substansi meme di atas tidak hanya gertakan sambal. Di mata santri memperjuangkan bangsa sendiri hukumnya adalah wajib. Karena bagi mereka membela negara merupakan jihad fii sabilillah yang
telah mengakar kuat dalam jiwanya.
Wejangan dari para guru dan kiai adalah adalah harga mati bagi santri. Karena beliau merupakan sosok figur yang berkarismatik karena keilmuannya.
Mungkin kita ingat bagaimana perjuangan santri dan kiai Jawa-Madura di masa kemerdekaan dalam mempertahankan kedaulatan
negara ini. Mereka dengan senjata seadanya dan
kobaran api semangat yang tinggi telah membuktikan bahwa bagi mereka
mempertahankan tanah air adalah sebuah keniscayaan.
Namun, isu yang berkembang di
masyarakat belakangan ini membelot.Santri ibarat sekelompok manusia yang identik dengan radikalisme dan
terorisme. Pondok pesantren yang merupakan pendidikan Islam menjadi kambing
hitam para pemangku kepentingan. Santri seolah dipersiapkan untuk mencetak
manusia berwatak keras dan ekstrem.
Yang lebih parah lagi, sempat terdengar isu miring dari seorang pejabat terkait kondisi pondok pesantren. Pertama, bahwa ada 19 pesantren yang terindikasi kemasukan teroris. Kedua, masuknya narkoba ke dalam lingkungan pesantren (NU Online, 16 Maret 2016). Hal ini tentu membuat kita tertegun. Benarkah pondok pesantren yang mengedepankan etika dan moral adalah sarang pencetak manusia tak beradab?
Sebagiman sudah terkenal bahwa kehidupan santri sangat erat dengan etika kesopanan. Santri dididik
untuk selalu mengamalkan amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bahkan, nilai moral menjadi prioritas utama
penentu kelulusan santri, tidak hanya berbarometer angka-angka. Oleh
karena itu,
sangatlah tidak masuk akal
jika tindakan teror dan radikal disematkan di pundak santri.
Karakter
Santri Terhadap Negara
Di zaman
yang seba absurd serta
arus modernitas dan wajah media yang tak menentu, santri dituntut untuk
senantiasa menjaga
tradisi lama yang baik (almuhafadzotu alal qodimis sholih) dan mengambil
tradisi baru yang lebih baik (wal akhdu alal jadidil aslah).
Begitu pun
dengan karakter seorang santri yang identik dengan kebhinnekaan harus selalu
dilestarikan. Seperti cinta tanah air (hubbul wathan). Mereka tidak
hanya diajarkan bagaiman membaca al-Qur’an ataupun kitab kuning, akan tetapi santri telah ditanamkan
cara berkecipung di dunia bisnis syariah dan pendidikan kenegaraan, baik secara individu maupun sosial.
Rasa empati dan simpati dalam keseharian santri dengan sesama teman adalah
bukti kecil bahwa santri memilik jiwa dan raga yang selalu siap untuk membela
negara. Menurut KH. Wahid Hasyim (1950) bahwa jiwa nasionalisme di pesantren
(santri) terbangun dari tiga nilai. Yaitu persaudaraan sesama muslim, antar sesama anak bangsa, dan antar sesama manusia.
Santri juga mencintai perdamaian. Kebersamaan yang berkelanjutan
membuat santri mencintai perdamaian. Kehidupan yang sama-sama jauh dari sanak
famili praktis telah membuka mata santri bahwa hidup itu saling membutuhkan
(zoon politicon). Hal ini telah terbukti minimnya tindakan anarkis
dikalangan santri. Tidak pernah ada kabar santri pondok pesantren dengan yang
pondok yang lain tawuran ataupun urak-urakan. Bahkan santri dididik untuk
selalu menjaga kerukuna dengan cara yang sederhana, yaitu dengan hidup yang
serba antri dan serba bergantian sesama santrinya dalam pakaian misalnya. Maka tidak
heran jika ada wacana”santri itu kalau enggak ngaji ya ngopi.”
0 komentar:
Posting Komentar