Jumat, 28 Oktober 2016

Santri.dari resolusi jihad sampai 10 November



71 tahun silam, tepatnya 21-22 Oktober 1945, para utusan dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dimotori langsung oleh pendiri NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dideklarasikanlah perang untuk mempertahankan  kemerdekaan sebagai perang suci (jihad). Yang kemudian deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad.
 Dua pekan kemudian, pad tanggal 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Walaupun banyak dari pasukan pribumi yang gugur, namun pada akhirnya pasukan Inggris sebagai Perang Dunia II itupun mundur. Pasukan Inggris mendarat di Jakarta pada pertengahan September 1945 dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Aksi pasukan Inggris tidak dapat dibendung. Sementara pemerintahan RI yang berpusat di Jakarta ingin menyelesaikan diplomatik sembari menata birokrasi negara baru, melahirkan partai-partai politik dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pasukan Inggris telah menduduki Bandung,  Palembang, Medan, Padang, dan Semarang lewat pertempuran-pertempuran sengit. Sedangkan kota-kota besar di kawasan timur Indonesia telah diduduki oleh Australia. Pasukan Inggris akhirnya masuk ke Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945, membawa sekitar 6.000 orang yang terdiri dari berbagai elemen seperti serdadu jajahan India. Di belakangnya membonceng pasukan Belanda yang masih bersemangat menguasai Indonesia. Resolusi Jihad yang difatwakan oleh KH.Hasyim Asy’ari meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Di waktu yang bersamaan, saat-saat perang kemerdekaan sedang berkecamuk dan terus digelorakan oleh para kiai dan santri, dinamika dan persaingan politik dalam negeri semakin memanas. Pada bulan Oktober Partai Komunis Indonesia didirikan kembali. Lalu setelah Makloemat Iks (4 November) dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, parpol-parpol lainnya juga bermunculan. dibentuklah Pesindo dan partai Islam Masyumi. Lalu, Maklumat Hatta 11 November mengubah pemerintahan presidensial menjadi parlementer, pemerintah harus bertanggungjawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai parleman. Kabinet parlementer ditetapkan pada 14 November, dipimpin Perdana Menteri Sjahrir dan Mentri Keamanan Amir Syarifudin. Di sisi lain, “Tentara profesional” dan gerilyawan melakukan konsolidasi. Pada saat-saat itu juga Indonesia sedang mengalami “revolusi sosial” hingga ke desa-desa. Pertikaian dan kekacauan merajalela dan tak terhindarka. Waktu itu timbul pertikaian horizontal yang terkenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” yakni Brebes, Pemalang dan Tegal. Kondisi inilah, tak pelak memberi peluang bagi upaya-upaya militer Belanda (yang sebelumnya datang membonceng sekutu) untuk semakin merangsek masuk menguasai kota-kota besar di Indonesia. Belanda semakin intensif menguasai Jakarta, sehingga Pemerintah Republik terpaksa mengungsi ke Yogyakarta pada Januari 1946. Maret 1946, PM Sjahrir mencapai kesepakatan rahasia dengan van Mook bahwa Belanda mengakui kedaulatan RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Sementara Belanda berdaulat atas wilayah-wilayah lainnya. Juga disepakati rencana pembentukan uni Indonesia-Belanda.
Di bawah tekanan itu NU menyelenggarakan muktamar yang pertama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Muktamar ke-16 tersebut dilaksanakan di Purwekorto pada 26-29 Maret 1946. Diantara keputusan pentingnya, NU mendeklarasikan kembali Resolusi Jihad yang mewajibkan semua  umat Islam untuk berperang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta. Kewajiban itu dibebankan kepada setiap orang Islam, terutama laki-laki dewasa, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius tersebut umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka. Dalam pidatonya, KH.Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar untuk disebarkan kepada seluruh warga pesantren dan umat Islam. Syariat Islam menurut K. Hasyim tidak akan bisa berlaku di negeri yang terjajah. …tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negerijajahan.” Kaum penjajah datang kembali dengan membawa persenjataan dan tipu muslihat yang lebih canggih lagi. Umat Islam harus menjadi pemberani. Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama rasulullah… … Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun. Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya….. … maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu….. Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945 pemerintah Inggris secara tidak resmi mendesak pemerintah Belanda agar agar mengambil sikap yang lebih luwes terhadap Republik Indonesia. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr, mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara republik Indonesia dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani, namun Belanda tiba-tiba melancarkan agresi militernya. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan, dan ”tanggung jawab” atas Jawa dan Sumatera diserahkan sepenuhnya kepada Belanda. Sejak itu, orang asing yang semakin terlibat dalam pertikaian antara Republik Indonesia dan Belanda, menggantikan Inggris, adalah Amerika Serikat.
Dari uraian di atas bisa dipastikan tanpa keberanian para kiai, santri, dan penduduk pribumi, indonesia sampai saat ini masih terjajah. Tapi mengapa negara ini memendang sebelah mata peran seorang kiai dan santri dan berusaha menutupi sejarah pengorbanan mereka.


0 komentar:

Posting Komentar