Selasa, 10 Oktober 2017

Ciri-ciri Ahlussunnah wal-Jamaah

 https://sunnahsantri.blogspot.com/2017/10/ciri-ciri-ahlussunnah-wal-jamaahBerpegang-Teguh-pada-al-Quran-dan-Sunnah.html

1.       Berpegang Teguh pada al-Qur’an dan Sunnah
Ahlussunnah wal-jamaah adalah golongan yang senantiasa berpegang teguh terhadap al-qur’an dan as-sunnah[1]. Mereka menjadikan keduanya sebagai pedoman hidup, karna dengan berpegang teguh terhadap al-quran dan as-sunnah manusia tidak akan tersesat selamanya. Sebagaimana yang dijanjikan oleh rasulullah sallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ ، فَقَالَ : قَدْ يَئِسَ الشَّيْطَانُ بِأَنْ يُعْبَدَ بِأَرْضِكُمْ وَلَكِنَّهُ رَضِيَ أَنْ يُطَاعَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ مِمَّا تُحَاقِرُونَ مِنْ أَعْمَالِكُمْ ، فَاحْذَرُوا يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ أَخٌ مُسْلِمٌ ، الْمُسْلِمُونَ إِخْوَةٌ ، وَلاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ مِنْ مَالِ أَخِيهِ إِلاَّ مَا أَعْطَاهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ ، وَلاَ تَظْلِمُوا ، وَلاَ تَرْجِعُوا مِنْ بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ   (رواه الحاكم)[2]
 Dalam hadits di atas disebutkan bahwa rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah yang berbunyi “ Takutlah kalian, sesungguhnya aku meninggalkan terhadap kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh terhadapnya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya; kitab allah dan sunnah nabinya”. Di samping itu Ahlussunnah wal-jamaah akan selalu mengembalikan setiap problem yang mereka hadapi pada al-Qur’an dan as-sunnah. Karena dalam pandangan ahlussunnah, al-qur’an dan as-sunnah di atas segalanya.
Ahlussunnah menganggap al-qur’an sudah final dan sampai sekarang al-Qur’an tetap asli serta selalu terjaga dari kekeliruan. Sebagaiman firman Allah SWT :
{إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ  [الحجر: 9
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (al-Hijr [9])
Dalam ayat sangatlah jelas bahwa Allah I yang akan menjaga al-Qur’an dari penanmbahan ataupun pengurangan[3]. Hal itu sangat berbeda dengan pandangan sekelompok orang yang berkeyakinan bahwa al-qur’an yang ada sekarang tidak asli lagi.
Sedangkan as-Sunnah menurut pandangan Ahlussunnah wal-jamaah adalah jalan yang diridhai oleh Allah I, menjadi pijakan dalam agama, dan telah ditempuh oleh Rasulullah  atau orang yang menjadi panutan dalam agama seperti sahabat[4]. Ahlussunnah wal-jamaah mengambil teladan dari rasul dan sahabatnya, mengamalkan dan memegang teguh prinsip hidup mereka. Sebagaimana telah rasulullah r perintahkan dalam hadis :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ [رَوَاه داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat “ (Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih).
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa Ahlussunnah wal-jamaah akan selalu berpegang teguh terhadap al-qur’an yang telah diturunkan kepada Rasulullah dan setiap sesuatu yang Rasulullah r sabdakan, kerjakan dan beliau tetapkan.
2.       Menerima Penuh Terhadap Nash-Nash syariat serta memahaminya sesuai metode ulama’ salaf
Selain berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, ahlussunnah wal-jamaah juga menerima dengan sepenuhnya terhadap nash-nash syari’at meskipun tidak mengetahui hikmahnya. Mereka juga tidak hanya menggunakan akal untuk memahami nash-nash yang ada, sehingga apabila akal tidak menjangkaunya, maka nash-nash tersebut tidak mereka terima. Akan tetapi, mereka menggunakan akal dan pendapat ulama’ salaf yang mempunyai kemampuan untuk memahami nash-nash tersebut. Karna hanya para ulama’lah yang menjadi pewaris dari para nabi. Sebagaiman hadits Rasulullah r ;
إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
(رواه الترمذي)
“Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para nabi, karena para nabi tidak mewariskan dirham dan dinar akantetapi mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya maka niscaya orang tersebut mengambil bagian yang menguntungkan” (HR. Turmudzi).
Dalam hadits juga disebutkan bahwa generasi salaf adalah generasi terbaik sebagaiman yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari ‘Imran bin Hushain sebagaiman berikut ;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم........

Nabi SAW bersabda; “sebaik-baik kalian adalah masaku kemudian masa setelahku dan masa setelahnya”. (HR.Bukhari)
Dalam hadits tersebut Rasulullah memberi kesaksian bahwa generasi salaf adalah generasi terbaik setelah beliau. Dan merekalah yang paling tau tentang apa yang dimaksud dari nash-nash yang ada, karena mereka yang senantiasa berinteraksi langsung dengan Rasulullah ataupun sahabatnya[5].
3.       Menahan diri dari menghina shahabat 
Sahabat adalah orang yang pernah bertemu atau berkumpul dengan Rasulullah SAW dalam keadaan iman, meskipun tidak meriwayatkan hadits dari beliau[6]. Disamping itu, para sahabat adalah paling baiknya umat yang pernah ada seabagimana firman Allah SWT  :
كنتم خير امة اخرجت للناسِ 
kalian adalah sebaik-baiknya ummat yang dikeluarkan untuk manusia.”(Ali ‘Imran :3 [110]) dalam tafsir as-Shawi disebutkan bahwa khithab dalam ayat tersebut adalah sahabat sesuai dengan perkataan sayyidina ‘Umar RA; “seandainya Allah SWT berkendak, niscaya Allah SWT akan berfirman menggunakan lafadz antum akan tetapi allah berfirman menggunakan lafadz kuntum khusus untuk sahabat nabi Muahammad SAW dan orang-orang yang melakukan sesuatu seperti apa yang mereka (sahabat) kerjakan.”[7]
Rasulullah SAW melarang keras ummatnya agar tidak mencaci para sahabat sebagiman dalam hadits :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تسبوا أصحابي لا تسبوا أصحابي فوالذي نفسي بيده لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما أدرك مد أحدهم ولا نصيفه (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda; “janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku janganlah kalian mencaci sahabat-sahabtku, demi dzat yang diriku berada dalam kekuasaannya, seandainya diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan menmbandingi satu mud atau separuhnya dari mereka(sahabat).”
Golongan Ahlussunnah wal-Jamaah meyakini bahwa para sahabat  baik yang terlibat konflik atau tidak seperti yang terjadi di antara sayyidah ‘Aisyah RA dan sayyidina ‘Ali  dalam perang jamal atau antara sayyina Mu’awiyah dan sayyidina ‘Ali RA dalam perang  shiffin. Semuanya tidak bersalah karna perselisihan diantara mereka adalah dalam ranah ijtihad yang apabila ijtihadnya salah maka mendapat satu pahala dan tidak mendapat dosa. Sebagaimana dalam hadits sebagai berikut ;
قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم : إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda ; “apabila seorang hakim memutuskan sebuah hukum dengan berijtihad  dan ijtihadnya benar, maka hakim tersebut mendapat dua pahala. Dan jika salah maka mendapat satu pahala”. (HR.Muslim
Betapa mulianya para sahabat dan betapa bodohnya orang-orang yang mencacinya[8]. Ibnu al-Mubarak berkata; “demi Allah! debu yang masuk kedalam kuda hidung kuda sayyidina Mu’awiyah di saat bersama Rasulullah SAW, masih lbih baik dari pada ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.”  Adapun mengenahi para pencaci sahabat, ulama’ berkomentar sebagaiman berikut :
·         Imam an-Nawawi : hukum mencaci para sahabat adalah haram dan termasuk perbuatan keji.
·         Ibnu Hajar al-Haitami : mencaci sahabat termasuk dosa besar.
·         Abu Zara’ah ar-Razi : pencaci sahabat adalah zindiq[9]
·         Sekelompok orang : para pencaci sahabat adalah kafir dan wajib dibunuh[10]
Karena itulah golongan Ahlussunnah memilih diam mengenahi apapun yang terjadi di antar generasi terbaik Rasulullah SAW. ). Ahlussunnah senantiasa tidak berkomentar sebagaiman yang telah dinadzam oleh syekh Ibnu Ruslan dal kitab Zubadnya ;
وما جرى بين الصحاب نسكت # عنه وأجر الاجتهاد نثبت
 ”apa yang terjadi antara sahabat-sahabat nabi lebih baik kita diam, tidak memperbincangkannya dengan mendalam, tetapi pahala ijtihad kita tetapkan didapat oleh kedua belah pihak.” (Ibnu Ruslan)[11].
4.       Ahli da’wah
Diantara perbedaan yang mencolok antara golongan Ahlussunnah wal-jamaah dan golongan yang lain adalah sikap mereka dalam berdakwah dan cara menyingkapi kemungkaran yang terjadi. Mereka(ahlussunnah) memiliki ciri khas dalam dakwaknya, yaitu dengan hikmah dan mau’idzah hasanah atau berdebat dengan cara yang baik. Cara tersebut sesuai dengan firman Allah SWT :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125) النحل/125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(an-Nahl [125])
Namun, tidak berarti ahlussunnah bersikap lunak begitu saja menyingkapi kemungkaran yang terjadi. Akan tetapi mereka(ahlussunnah) mengumpulkan antara sikap lembut dan keras sesuai dengan orang yang mereka hadapi. Seperti firman Allah SWT dalam mensifati para sahabat  :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا(29
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.(al-Fath [29])
Dalam ayat tersebut sengat jelas bahwa Allah menjelaskan bahwa para sahabat bersikap lunak terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir. Rasulullah sendiri adalah nabi rahmah disamping juga nabi malhamah sesuai orang yang beliau hadapi. Begitu juga ahlussunnah, mereka berdakwah mengikuti cara yang diajarkan oleh rasulullah SAW,yaitu dengan cara akulturasi budaya. Ketika ahlussunnah melihat ada pekerjaan ataupun ritual yang melenceng dari aturan agama, mereka tidak lantas menyesatkan mereka apalagi sampai mengkafirkan. Akan tetapi di beri penjelasan dan diarahkan pada praktek yang sesuai dengan aturan agama jika kemungkarannya berupa ritual, dan dihapus total jika memang ritual tersebut tidak bisa disesuaikan dengan tuntuna agam islam. Cara tersebut sesuai dengan cara rasulullah menghadapi orang-orang  jahiliyah dia arab yang budaya mereka jauh dari tuntunan agama, akantetapi beliau tidak mengkafirkan mereka melainkan memberi penjelasan dengan baik dan mengislamkan budaya jahiliyah tersebut seperti halnya sembelihan.
Imam Abu Hamid al-Ghazali memberi aturan dalam menghadapi perkara mungkar, yaitu “kemungkaran tidak bisa dihilangkan dengan perkara mungkar”. Walisongo datang ke Indonesia tidak lantas mengkafirkan atau membid’ahkan budaya orang hindu di Indonesia, akan tetapi beliau berdakwah dengan melalui pendekatan budaya. Seperti halnya wayang, selamatan desa, yang semua itu berasal dari tradisi hindu yang erat kaitannya dengan kesyirikan. Bisa dibayangkan jika para wali datang ke indonesia dan kemudian menyisikkan dan membid’ahkan , mungkin orang-orang Indonesia sampai sekarang masih dalam keadaan beragama hindu.
Dari pemaparan di atas sangat jelas golongan ahlussunnah sangat menghormati budaya dan tidak mudah mengkafirkan ummat ataupun membid’ahkanya dalam tanda kutip mereka masih bisa diperbaiki.
5.       Golongan yang senantiasa bermadzhab/bertaklid
Bermadzhab merupakan satu di antara ciri-ciri golongan ahlussunnah wal-jamaah. Karena mereka sadar bahwa mereka tidak memenuhi syarat sebagai orang yang bisa berijtihad sendiri. lantas apa maksud ijtihad dan taklid (bermadzhab) dalam pandangan ahlussunnah wal-jamaah sendiri.
Ijtihad adalah pekerjaan seorang mujtahid dalam untuk menghasilkan sebuah hukum syar’i, dan hukumnya adalah wajib bagi orang yang memenuhi syarat untuk melakukannya. Adapun syarat agar seseorang dikatagorikan sebagai orang yang boleh berijtihad sangatlah berat. Prnah suatu ketika imam ahmad bin hambal diatanya, “apakah orang yang hafal seratus ribu hadits dikatagorikan sebagi faqih?” Imam Ahmad menjawab: “belum”. Lalu ditanya lagi, “kalau dua ratus ribu hadits?”. Beliau menjawab: “belum” lalu ditanya lagi,”tiga ratus ribu hadits?” lagi lagi beliau menjawab: “belum” sampai pada akhirnya beliau ditanya, “empat ribu hadits?”lantas beliau menjawab:” iya”, dan dalam satu riwayat beliau menjawab” saya harap begitu”. Kemudian para ulama’ ushul merumuskan syarat-syarat seorang mujtahid. Diantaranya  adalah menguasai ilmu garamatika arab untuk menegtahui maksud dari nash-nash hukum. Akan tetapi para ulama menetapkan bahwa orang-orang yang sempai pada derajat mujtahid sudah tidak ada lagi. Seprti imam al-Ghazali dalam kitab ihya’ ‘ulumiddin menyebutkan bahwa orang masa beliau tidak ada yang sampai pada derajat mujtahid. Juga imam ar-razi, an-nawawi dan ar-rafi’e  menyebutkan hal serupa. Bahkan imam as-Suyuti yang di kenal menguasai dalam berbagai bidang ilmu dan hafal dua ratus ribu hadits pernah memproklamirkan dirinya sebagi mujtahid akan tetapi mecabutnya kembali lantaran sadar betapa beratnya derajat mujtahid.
  Adapun taklid adalah menerima pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya, adapun hukum taklid dalam masalah furu’ adalah wajib bagi orang yang tidak memenuhi kapasitas seorang mujtahid. Adapun dalil-dalil kewajiban taklid adalah sebagai berikut :


(43). وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚفَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ



   “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(an-Nahl [43])


إِنَّ الله لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا(متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan". (HR.Bukhari Muslim)
Akan tetapi dalam bertaklid tidak diperbolehkan sembarang memilih madzhab yang akan diikuti, akan tetapi ada aturan dalam memilih madzhab. Diantaranya; madzhab yang dipilih harus mudawwan (terbukukan), karena itulah para ulama’ hanya memperbolehkan taklid pada empat madzhab(hanafi, maliki, syafi’e, hambali) sebab hanya empat madzhab tersebut yang terbukukan dan terjaga sampai sekarang. Dan orang yang keluar dari empat madzhab tersebut termasuk ahli bid’ah seperti yang di paparkan oleh imam at-Thahawi.
Sangat disayangkan jika ada sekelompok orang yang mewajib setiap orang mukallaf untuk berijtihad dan tidak memperbolehkan taklid, karena jika berijtihad diwajibkan akan mewajibkan semua orang mukallaf untuk memenuhi syarat sebagai mujtahid yang menyebabkan hilangnya stabilitas kehidupan. Karena tidak akan ada orang yang bekerja dan juga tidak akan ada pasar. Allah SWT tidak akan memerintah hambanya dengan sesuatu yang mereka tidak mampu :

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (al-Baqarah [286])




[1] . Firaq Mu’ashiroh, hal 96
[2] . Al-Hakim, Al-Mustadrak,  juz 1 hal 93
[3]. Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 7 hal 8
[4] . KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlussunnah wal-Jamaah, hal 5
[5] Firaq Mu’ashiroh, hal 96
[6] Zakariya al-Anshari, Ghayah al-wushul
[7] As-Shawi, Tafsir as-Shawi juz 1 hal 153
[8] Ibnu Hajar, Fathu al-mu’in hal 94
[9] Man sabba as-shahabh wa Mu’awiyah fa’ummuhu hawiyah juz 1 hal 25
[10] As-shahabah wa makanatuhum ‘inda al-muslimin juz 1 hal 147
[11] Matnu az-zubad



0 komentar:

Posting Komentar