Minggu, 07 Juli 2019

Kontroversi Kitab al-Ibanah; Muktazilah atau Ahlussunah?


Kontroversi Kitab al-Ibanah; Muktazilah atau Ahlussunah?

 Imam Asy'ari, Muktazilah atau Ahlussunnah?
Membicarakan karya-karya al-Asyari berarti membicarakan produktifitas seorang ulama besar yang memiliki kedalaman dalam kajian, variasi dalam ilmu pengetahuan, keluasan dalam wawasan dan kekayaan dalam aneka ragam informasi. Pandangan sepintas terhadap karya beliau yang berjudul al-‘Umad fi ar-Ru’yah, akan memberikan informasi yang cukup mengenai siapa sebenarnya al-Asyari[1].
Kontroversi Kitab al-Ibanah; Muktazilah atau Ahlussunah?

Al-Asyari memiliki nama lengkap Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa Al-Asyari, lahir di Bashrah tahun 260 H/ 873 M, tepat di tahun wafatnya filsuf Arab, al-Kindi. Sedangkan mengenai kapan Imam al-Asyari wafat, masih terjadi perbedaan di antara sejarawan. Menurut sebagian pendapat, al-Asyari wafat pada tahun 320 H/ 935 M. Menurut yang lain, diantaranya Ibn Furak dalam kitab Thabaqâh al-Mutakallimîn, Imam al-Asyari wafat tahun 324 H/ 939 M. Ada juga yang mengatakan tahun 330 H. Namun di antara pendapat itu, yang paling mendekati keyakinan adalah pendapatnya Ibn Furak, sebab dia termasuk murid dari Abu Hasan al-Bahili, murid al-Asyari yang paling akrab dengan gurunya[2].   

Ibnu Asakir dalam kitabnya yang bejudul Tabyîn al-Kadzib al-Muftarî menceritakan, bahwa Imam Abul Qasim al-Qusyairi pernah berkata, “Para ahli hadits sepakat bahwa Imam al-Asyari adalah salah seorang Imam dari imam-imam ahli hadits. Mazhabnya adalah mazhab ahli hadits, ia berbicara sesuai dengan Ahlussunah dan membantah orang-orang yang berseberangan dari orang-orang yang menyimpang dan ahli bid’ah”[3].

Imam al-Asyari termasuk ulama yang kreatif dalam mengarang kitab. Terutama setelah “mengundurkan diri” dari mazhab Muktazilah. az-Zarkali menyebutkan bahwa, al-Asyari mengarang 300 kitab, termasuk diantaranya Imamah as-Shadiq ar-Rad al-Mujassimah, Makalah al-Islamiyyin, al-Ibanah ‘an Ushul Ad Diyanah, al-Rad ala Ibn ar-Rawandi, al-Asma’ wa al-Ahkam, al-Luma’ fi ar-Rad ala ahli az-Zaigh wa al-Bida’, dan lain-lain.

Baca juga: Interaksi dengan Orang Kafir

Diantara beberapa karya tersebut yang paling monumental adalah al-Luma’ dan al-Ibanah. Al-Ibanah sendiri memuat dasar-dasar akidah yang diusung oleh al-Asyari. Kitab ini bisa sampai kepada kita, karena jasa dari al-Hafizh Ibn Asakir yang mengutip sebagian isinya dalam kitab Tabyin Kidzb al-Muftari[4]. Di samping itu, kitab ini juga telah diterbitkan secara lengkap dalam beberapa edisi, antara lain edisi terbitan Saudi Arabia yang diberi kata pengantar oleh Abdul Aziz bin Baz -ulama Wahabi kontemporer- dan diterbitkan Jamiah Islamiyah, Madinah al-Munawwarah, edisi terbitan Beirut dan edisi terbitan Kairo yang ditahkik oleh Fauqiyah Husain Mahmud. Dari semua edisi terbitan tersebut, edisi terbaik adalah edisi terbitan Fauqiyah Husain Mahmud, meskipun isinya banyak yang meragukan. Sementara edisi terbitan Saudi Arabia dan Beirut, banyak mengalami distorsi (tahrîf) dan penambahan dari kalangan Wahabi[5].

Untuk penulisan kitab Al-Ibanah ini, hingga sekarang masih menuai banyak kontroversi dikalangan ulama. Banyak perbedaan pandangan tentang kapan kitab itu dikarang. Dikarenakan penulisan dalam kitab tersebut mengandung makna tekstual yang jelas dan lebih cenderung kepada sikap ahli hadis, terutama sikap Imam Ahmad bin Hanbal[6].

Menurut al-Barbahari, seorang penganut ekstrim Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa Imam al-Asyari mengarang kitab ini ketika masih berbau Muktazilah. Dikarenakan banyaknya pemikiran-pemikiran beliau yang sepertinya lebih mendahulukan rasional[7]. Untuk menepis tuduhan itu, Imam al-Asyari membantah dalam pembukaan kitab Al-Ibanahnya dengan terang-terangan menunjukan dukungannya terhadap akidah yang diusung Imam Ahmad bin Hanbal, “Jalan yang aku tempuh adalah berpegang teguh kepada kitab Allah, Sunnah Nabi, riwayat para sahabat, tabi’in, para imam-imam hadis, dan pada apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad Ibn Hanbal- semoga Allah menyinari wajahnya, dan meninggikan derajatnya....[8].

Sedangkan Dr. Hamudah Gharabah dalam kajiannya tentang Imam al-Asyari, mengatakan bahwa Imam al-Asyari menulis kitab al-Ibanahnya pada awal memisahkan diri dari mazhab Muktazilah. Kemudian beliau menulis kitab al-Luma’ setelah kondisi perlawanannya dengan Muktazilah mulai tenang serta kembali pada mazhab yang moderat[9]. Pendapat ini sejalan dengan al-Qodhi Abi al-Husein dalam Thobaqah al-Hanabilah  yang mengatakan bahwa al-Ibanah dikarang untuk menunjukkan wujud dukungannya terhadap ulama ahli hadis setelah mendapat tuduhan dan melakukan dialog dengan al-Barbahari[10].

Pendapat ini juga didukung dari kalangan Asyairah yang berpendapat bahwa setelah keluar dari Muktazilah, Imam al-Asyari merasa perlu membuktikan dukungannya terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dan menunjukan penentangannya terhadap Muktazilah sebagai rivalnya. Karena itulah beliau lalu menulis kitab al-Ibanah sebagai bukti akan penentangannya itu[11].

Dengan demikian apabila kita mengikuti pendapat Dr. Hamudah Gharabah yang menganggap bahwa kitab ini ditulis sebagai reaksi cepat dari sang Imam setelah keluar dari aliran Muktazilah, dan bukan ditulis ketika beliau masih menganut aliran Muktazilah, maka pendapat ini lebih mendekati pada kebenaran ketika membahas tema ini secara global[12]. Dr. Hamudah Gharabah juga berpendapat bahwa perbedaan antara Imam al-Asyari dan pengikutnya adalah perbedaan yang tidak menyentuh pada pikiran utama dalam mazhab al-Asyari, serta tidak ada jurang perbedaan yang lebar antara mereka seperti yang diklaim oleh para orientalis.

Bahkan Dr. Hamudah berpendapat lebih jauh lagi, bahwa Imam al-Asyari konsisten mengikuti akidah Imam Ahmad bin Hanbal dan tidak pernah meninggalkannya. Sementara pengikut Imam Ahmad bin Hanbal sendiri malah meninggalkannya, klaim ini sangat penting untuk dikaji.


Ma'sum Ahmadi/Annajah Center Sidogiri



[1] Muhammad Idrus Romli. Mazhab al-Asyari Benarkah Ahlussunah Wal Jama’ah?, (Khalista), 2009. hal. 26.
[2] Tim Karya  Ilmiyah Santri Lirboyo. Aliran-Aliran Teologi Islam, (2008). hal. 242.
[3] Tabyin al-Kadzib al-Muftari ala al-Imam al-Asy’ari, hal. 112-113.
[4] Imam Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. (Darul Anshar). hal. 74.
[5] Hamad al-Sinan dan Fauzi al-‘Anjari, Ahl al-Sunnah al-Asya’irah Syahadah ‘ulama’ al-Ummah wa Adillatuhum, (Hawalli: Dar al-Dhiya’, 2005), hal. 58.
[6] Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir. Ensiklopedia Aliran dan Mazhab di Dunia Islam, (Pustaka Al Kautsar), hal. 158.
[7] Tim Karya  Ilmiyah Santri Lirboyo. Aliran-Aliran Teologi Islam, (2008). hal. 243-244.
[8] Abdullah Mahmud Muhammad ‘Umar. Op. Cit. hal.4; Imam Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. (Darul Anshar). hal. 20.
[9] Lihat Al-Imam Al-Asy’ari. hal. 68.
[10] Imam Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. (Darul Anshar). hal. 74.
[11] Tim Karya  Ilmiyah Santri Lirboyo. Aliran-Aliran Teologi Islam, (2008). hal. 253.
[12] Lihat, Al-Asy’ari, karya Dr. Hamudah, hal. 135-136.

Rabu, 21 Maret 2018

Interaksi dengan Orang Kafir

Interaksi dengan Non Muslim

Pada tahun kelima Hijriyah, terjadilah perang Ahzab atau lebih populer dengan sebutan perang Khandaq. Sedikitnya ada sepuluh ribu pasukan sekutu yang berasal dari orang-orang Quraisy dan beberapa kabilah Arab yang lain. Mereka hendak menyerang umat Islam di kota Madinah. Kabar penyerangan itu akhirnya sampai pula pada umat Islam. Syahdan Rasulullah saw meminta pendapat para Shahabat.

Ubadah bin as-Shamit yang tengah berada diantara para Shahabat itu mengajukan usul. “Ya Rasulullah, aku memiliki ikatan persaudaraan sedikitnya dengan lima ratus orang Yahudi. Bolehkah aku ajak mereka bergabung bersama pasukan Muslim?”

Rasulullah saw belum juga menanggapi usulan itu akhirnya turunlah ayat yang artinya:
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai wali loyalis), melainkan orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu dari (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali.” (QS .Ali Imran [3]: 28)

Seorang Mukmin tidak akan menjadikan orang kafir sebagai loyalisnya terkecuali dikarenakan imannya lemah. Boleh jadi ghirah atau sensifitasnya terhadap agama tidak begitu kuat. Sehingga lebih mengutamakan orang kafir --sekalipun dalam persoalan yang tidak menyangkut agama, daripada berusaha meningkatkan hubungannya dengan sesama Islam. Dalam kontek ke-Indonesia-an, umat Islam lebih dominan daripada orang kafir. Sehingga, persoalan-persoalan di bidang apapun lebih baik dibicarakan dengan sesama Islam ketimbang menyerahkannya kepada orang kafir.
Sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran bahwa orang kafir itu, apapun agamanya, tak akan pernah ridha terhadap umat Islam. Dengan artian bahwa orang kafir tak akan tinggal diam membiarkan agama Islam menemukan momentumnya. Allah swt berfirman yang artinya:

“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka."(QS. al-Baqarah [2]: 120)

BACA JUGA: Syahid Memahami Ketentuan dan Pentingnya Jihad

Dalam sejarah pun dapat kita temukan beragam makar yang dilakukan orang kafir. Termasuk pengkhianatan-pengkhianatan mereka terhadap umat Islam generasi awal. Hal itu terbukti dari kisah hijrahnya Rasulullaah saw ke kota Madinah. Ketika itu, orang-orang kafir Madinah dan sekitarnya terpecah menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama bersikap lunak dan lebih memilih jalur aman. Mereka mengadakan perjanjian damai dengan umat Islam. Sedang kelompok kedua cenderung memilih sikap lebih keras daripada kelompok pertama. Mereka merasa tidak rela membiarkan umat Islam hidup dalam kedamaian. Dengan tegas, mereka siap menghadapi umat Islam. Sementara kelompok yang terakhir tidak memihak kepada orang kafir juga tidak berdamai dengan umat Islam. Kelompok ketiga ini menantikan situasi yang tepat dimana mereka akan berpihak pada kelompok yang lebih dominan antara orang kafir dan umat Islam.

Hingga pada akhirnya, Yahudi Bani Qainuqa’ mengawali penghianatan. Mereka mula-mula menampakkan kebencian dan permusuhan. Puncaknya, mereka mempermainkan kehormatan seorang perempuan yang kemudian mendorong para shahabat bersegera menghentikan ulah mereka.
Disusul kemudian penghianatan Bani Nadhir, enam bulan pasca peristiwa Bani Qainuqa’. Pergerakan mereka dengan segera dapat diatasi oleh para shahabat. Sekian kalinya Allah  tidak membiarkan orang kafir mengalahkan umat Islam.

Nah, dari pemaparan singkat diatas, dapat dipahami bahwa sekalipun berinteraksi dan bermuamalah dengan orang  kafir dalam persoalan duniawi tidak dilarang, namun umat Islam tetap harus menaruh sikap waspada. Sebab perbedaan agama cenderung memunculkan fanatisme. Oleh karenanya, orang kafir –apapun agamanya, akan memposisikan kepentingan agamanya diatas kepentingan agama Islam. Apalagi bila agama Islam dianggap sebagai penghalang atas keberlangsungan agamanya. Wallahu a’lam.

Khotibul Umam/Aktivis Kajian Hadis

Sabtu, 10 Maret 2018

Modus Aliran Kebatinan

Modus Aliran Kebatinan


Dalam kitab Risâlah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, KH. Hasyim Asyari menerangkan bahwa sekitar seratus abad lebih merebak segala aliran yang ada di Nusantara, termasuk di antaranya adalah aliran kebatinan. Aliran yang mempunyai konsep dasar orang yang telah mencapai maqam (tingkatan) mahabbah (cinta kepada Allah Swt) dan mendapat kesucian hati, tidak perlu mengamalkan syariat, tetapi cukup dengan hakikat.

Ketika seseorang telah sampai ke tingkatan ini, ia tidak wajib melakukan ibadah-ibadah dzahir, tetapi cukup merenung (tafakkur) dan memperbaiki akhlaq hati. Kaum kebatinan biasanya menyebarkan aliran ini dengan beberapa modus yang sering mereka lontarkan di antaranya penyebaran isu bahwa dirinya seorang wali Allah Swt yang telah mencapai makrifat, memiliki karamah seperti halnya para waliyullah, menampakkan bahwa dirinya mengetahui perkara gaib, dan meremehkan para ulama yang konsisten dengan ajaran syari’at.

Maka, jangan pernah percaya terhadap orang yang mengaku bahwa dirinya sudah makrifat namun menyalahi syariat, sebab dalam agama Islam yang menjadi ukuran seseorang adalah ajaran syariat (melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya) bukan ia bisa terbang di udara atau berjalan di atas air namun ia menyalahi ajaran syariat dengan melakukan larangan dan meninggalkan kewajiban tanpa ada uzur, maka ulama mengatakan dia sebenarnya adalah setan yang diciptakan oleh Allah Swt sebagai fitnah bagi orang-orang awam.

Diceritakan ada Seseorang laki-laki berkata kepada al-Junaid al-Baghdadi, “Orang yang makrifat kepada Allah akan mencapai maqam tidak bergerak (tidak melaksanakan kewajiban) untuk mendekatkan diri kepada Allah.” Al-Junaid menjawab: “Mencuri dan berzina masih lebih baik dari pada berkata seperti ini. Imam al-Zabidi dalam Syarhu Ihya’ mengatakan kebatinan itu adalah kekufuran, kezindiqan dan kesesatan.”

Selain itu, kita jangan terlalu percaya terhadap pengakuan kewalian seseorang. Sebab mencapai maqam Auliya Illah (wali-wali Allah) adalah bukan hal yang sembarangan. Derajat wali diberikan pada hamba-hamba pilihan Allah Swt. Al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashfihani berkata dalam Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, “Sesungguhnya para wali Allah itu memiliki sifat-sifat yang jelas dan tanda-tanda yang terang.

Walhasil, aliran kebatinan merupakan aliran yang sama sekali tidak berdasar dari agama Islam. KH. Ahmad Idris Marzuqi berkata, “Dalam Islam, syariat mesti didahulukan dan diutamakan. Sedangkan aliran kebatinan sama sekali tidak mengindahkan syariat, sehingga aliran ini jelas batil.
Fajar Shodiq/Tauiyah

Selasa, 13 Februari 2018

VALENTINE DAY’S PEMICU TURUNNYA ADZAB ALLAH SWT


 
VALENTINE DAY’S PEMICU TURUNNYA ADZAB ALLAH SWT

Valentine Day’s tidak pernah ada dalam kalender Islam, karena memang tidak pernah ada dan bukan bagian dari tradisi dalam Islam. Oleh karena itu, perayaan Valentine sama halnya dengan perayaan Natal. Sudah terlalu banyak yang penjelasan mengenahi hukum tersebut.
Namun, ada sisi lain yang perlu diketahui bagi orang Islam terkait perayaan Valentine. Valentine merupakan hari di mana para remaja mengungkapkan rasa kasih terhadap paasangan terlarangnya. Kebanyakan dari mereka mengungkapkannya dengan memberikan sebatang cokelat beserta sepucuk bunga. Bahkan, tidak jarang dari mereka menyelipkan sehelai kondom di dalamnya. Merupakan sesuatu yang pasti, sebuah kondom digunakan para remaja pada hari tersebut untuk melakukan perbuatan zina. Perbuatan yang keharamannya sudah menjadi kesepakatan para ulama dan orang yang tidak mengetahuinya tidak ditoleransi karena merupakan perkara yang ma’lûm min ad-Dîn bidh Dharûrah.

Di samping perbuatan zina menjadi petaka bagi pelakunya, perbuatan tersebut juga berdampak pada orang sekitar dan tempat di mana zina itu dilakukan. Rasulullah saw bersabda:

 إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Apabila zina dan riba telah nampak di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri-diri mereka.” (HR. Al-Hakim dari Ibnu ‘Abbas)
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa ketika zina sudah merajalela di suatu daerah maka penduduk daerah tersebut telah mempersilahkan datangnya azab Allah swt kepada meraka.
Mengapa demikian, padahal tidak semua penduduk di daerah tersebut melakukannya? Allah swt telah menjawab petanyaan ini dalam firmannya:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖوَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal ayat 25)
Ibnu Katsir dalam Tafsîr-nya menukil dari hadits Syuraih bin Haiwah, menyebutkan bahwa Allah swt memberikan peringatan kepada hamba-hambanya yang beriman tentang suatu malapetaka yang tidak hanya diturunkan kepada pelaku maksiat, melainkan menimpa kepada setiap orang yang berada di sekitarnya. Hal itu terjadi jika orang sekitarnya membiarkan kemungkaran tersebut terjadi.

Nash al-Qur’an dan Hadits di atas memberikan kesimpulan bahwa kemungkaran yang merajalela tanpa ada yang mencegahnya akan memicu datangnya azab dari Allah swt yang akan menimpa suatu daerah di mana kemungkaran itu dilakukan. Oleh karena itu, merupakan keharusan setiap Mukmin agar menjaga remaja kita agar tidak terjerumus pada kemungkaran khususnya pada tanggal 14 Februari yang bertepatan dengan perayaan Valentine Day’s. 

Ma’sum Ahmadi/Tauiyah

Senin, 01 Januari 2018

Syahid Memahami Ketentuan dan Pentingnya Jihad

 https://sunnahsantri.blogspot.com/2018/01/syahid-memahami-ketentuan-dan-pentingya-jihad.html

Para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum jihad adalah fardhu kifâyah. Seperti yang telah disampaikan oleh Syekh al-Malibari di dalam kitab Fathul Mu’în:
هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كُلَّ عَامٍ وَلَوْ مَرَّةً
“Jihad itu hukumnya fardhu kifâyah di setiap tahun walaupun hanya sekali.”

Maksud dari fardhu kifâyah adalah ketika tak seorang pun dari orang-orang Islam ada yang berjihad maka semua akan berdosa. Tapi, ketika ada yang berjihad walaupun hanya satu orang maka gugurlah kewajiban tersebut. Yang patut kita ketahui bahwa hakikat dari hukum fardhu yang ada dalam jihad adalah ijma’ para ulama. Jadi, dari setiap orang yang beragama Islam mempunyai tanggungan akan wajibnya berjihad. Hanya saja, kewajiban tersebut akan gugur ketika telah dilakukan oleh sebagian orang. Hukum fardhu kifâyah ini akan terus berlanjut saat orang kafir berada di negara mereka. Dan akan berubah menjadi hukum fardhu ain jika orang kafir berada di negara Islam. Dalam hal ini Syekh al-Malibari berkata:
وَإِنْ دَخَلُوْا اَيْ الكُفَّارُ  بَلْدَةً لَنَا تَعَيَّنَ الجِهَادُ عَلَى اَهْلِهَا
“Ketika orang-orang kafir masuk di daerah atau negara Islam, maka wajib (fardhu ‘ain) bagi orang Islam untuk berjihad.”

Adapun ketentuan orang yang bisa berjihad adalah, pertama, beragama Islam. Kedua, mukallaf (baligh dan berakal). Ketiga, laki-laki. Keempat, merdeka (bukan budak). Kelima, mempunyai senjata untuk berjihad dan mampu menggunakannya tatkala musuh menyerang.

Jihad adalah sesuatu yang sangat penting di dalam agama Islam dan harus kita tanamkan di dalam diri kita. Lebih-lebih di zaman sekarang, ketika orang kafir sudah ada di mana-mana dan banyak orang Islam yang didzalimi. Ketika keadaan orang Islam minoritas di suatu daerah, maka pasti mereka tertindas dan didzalimi. Namun, ketika orang Islam adalah mayoritas di suatu daerah, maka pasti orang kafir menyeru tentang toleransi beragama. Inilah yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita di zaman ini. Oleh karena itu Rasulullah r menempatkan pahala jihad di tempat paling utamanya suatu amal. Memandang akan pentingnya jihad dan menunjukkan bahwa orang Islam bukanlah orang yang lemah. Seperti yang telah dijelaskan dalam hadis beliau r dari jalur Abu Hurairah t:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيْ الْأَعْمَالُ أَفْضَلُ؟ قَالَ إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ قِيْلَ ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ الجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قِيْلَ ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ حَجٌّ مَبْرُوْرٌ.  متفق عليه
Dari Abu Hurairah t , ia berkata, “Rasulullah e pernah ditanya tentang amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ditanyakan, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” Ditanyakan lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Haji mabrur.” (HR. Bukhari Muslim).

M. Fuad Abdul W/Annajah Center Sidogiri

Minggu, 31 Desember 2017

Haram Kemungkaran-kemungkaran Saat Tahun Baru Masehi

                                     
 kemungkaran tahun baru masehi

            
Sejarah Tahun Baru  pertama kali ditetapkan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Pada saat Julius Caesar diangkat sebagai Kaisar Roma, ia mempunyai inisiatif untuk mengganti kalender yang biasa dipakai oleh Romawi sejak abad ketujuh SM dengan menggunakan kalender revolusi matahari, sebagaimana yang digunakan orang-orang Mesir.

                Kita bisa melihat bahwa permulaan Tahun Baru Masehi ditetapkan oleh orang-orang non-muslim yang mengikuti tahun Gregorian yang sejak dulu dirayakan oleh orang Kafir.

                Pada masa kita saat ini, perayaan Tahun Baru Masehi dirayakan dengan penuh kemungkaran, baik oleh orang Kafir atau orang muslim yang membebek pada pekerjaan orang kafir. Di bawah ini diantara kemungkaran, kemaksiatan, kerusakan yang terjadi pada malam pergantian Tahun Baru Masehi.

Mengganggu Ketenangan Masyarakat

Tidak bisa dipungkiri pada saat malam pergantian Tahun Baru Masehi, suara keras yang terdengar dari ribuan terompet, teriakan, canda tawa, kenalpot kendaraan pendatang dari berbagai daerah, dan kembang api serta mercon yang dihidupkan di tengah-tengah malam akan mengganggu masyarakat sekitar. Padahal ada ancaman langsung dari Rasulullah r dalam sabdanya:
لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه
Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak merasa tenang sebab gangguannya(HR. Muslim)

Melakukan Pemborosan Harta

                Pada saat malam Tahun Baru Masehi, banyak keborosan dalam menggunakan harta, seperti pembelian terompet, minuman-minuman keras, penghiasan sepeda motor dengan menggunakan kenalpot nyaring yang harganya mahal , pesta besar-besaran hingga kembang api yang harganya milyaran. Padahal allah I berfirman dalam al-Quran:
Dan berikanlah hak-hak keluarga terdekat, orang miskin, orang yang sedang dalam perjalanan. Dan janganlah kamu menghambur-haburkan (harta) secara boros, sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah teman-temnnya Syaitan, dan Syaitan telah berbuat durhaka kepada tuhannya. (QS. al-Isra`: 26-27)
Syaikh Wahbah Zuhaili menafsiri ayat di atas dengan larangan melakukan keborosan, dan membelanjakan harta yang berlebihan pada selain tempatnya yang tidak mencocoki  Syara’ dan Hikmah (Tafsir al-Munir vol.15 hal.50). dan seandainya uang yang berjumlah milyaran tersebut diberikan kepada faqir miskin tentu lebih baik.

Mengonsumsi Makanan & Minuman Terlarang
Rasa bosan yang dirasakan berbagai orang pada saat menanti detik-detik bergantinya Tahun Baru Masehi akan menyebabkan banyak hal yang akan dilakukan walaupun berupa larangan untuk menghilangkan rasa bosan, seperti mengkomsumsi ganja, dan meminum minuman keras . Padahal didalam al-Quran jelas larangannya, Allah I berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, judi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah.adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan Syaitan. Maka jahuilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (al-Maidah 90)
Khotibul Umam / Tauiyah


Minggu, 24 Desember 2017

Nabi Islam Isa as tidak Terlahir Kedinginan

 https://sunnahsantri.blogspot.com/2017/12/isa-as-tidak-terlahir-kedingina-n25-Desember.html


25 Desember merupakan hari di mana pada hari itu banyak kita temukan pohon cemara berhiasan lampu terpajang di mal-mal, toko-toko swalayan pun tak ketinggalan melakukan hal yang sama. Di tanggal yang sama pula banyak kasir-kasir, petugas-petugas yang mengenakan topi berwarna merah dan tak jarang banyak badut-badut yang memakai topi yang sama dibalut dengan mantel khas musim salju. Terminal bus pun tak ketinggalan, posko kemanan dengan berhiaskan lampu-lampu. Semua itu hanya bisa disaksikan pada tanggal 25 Desember.

Mereka melakukannya bukan tanpa alasan, semua itu mereka lakukan untuk merayakan kelahiran Nabi Isa u (Yesus menurut mereka) yang konon katanya lahir bertepatan dengan tanggal dan bulan tersebut. Namun, apakah keyakinan mereka itu dibenarkan oleh sejarah baik sejarah Islam ataupun Kristen sendiri. Apakah memang benar bahwa Nabi Isa u dilahirkan pada musim salju?
Dalam al-Qur’an tepatnya pada surah Maryam ayat 25, disebutkan bahwa ketika Maryam melahirkan Nabi Isa u, beliau diperintahkan oleh malaikat jibril untuk menggoyang pohon kurma agar pohon kurma tersebut menjatuhkan buahnya yang sudah masak. Menurut petani kurma, pohon kurma yang ketika digoyangkan akan menjatuhkan buahnya itu hanya terjadi ketika suhu di daerah itu sangatlah panas dengan suhu 35-45 derajat celcius. Dari fakta sejarah ini, dapat dipastikan bahwa Nabi Isa as dilahirkan pada musim panas.

Dalam Injil Lukas 2:1-8 disebutkan bahwa, ketika Maryam melahirkan Isa as (Yesus), di daerah itu terdapat gembala-gembala yang tinggal di padang panjang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Kejadian ini hanya terjadi ketika musim panas datang, karena waktu malam merupakan waktu yang tepat bagi para gembala untuk mengembalakan ternaknya, mengingat tingginya suhu pada siang hari.

Menurut Matius 2:1, 10, 11, Nabi Isa u lahir dalam masa pemerintahan raja Herodus yang disebut Herodus Agung yang memerintah tahun 37 SM- 4 M (749 Romawi), ditandai dengan bintang-bintang yang terlihat oleh orang-orang Majusi dari Timur. Kitab ini juga mengindikasikan kelahiran Nabi Isa u tidak mungkin bertepatan dengan musim dingin, mengingat Gemerlapan bintang hampir tidak ditemukan ketika musim dingin.

Kedua Injil tersebut menggambarkan kelahiran Nabi Isa u ditandai gembala yang sedang menjaga kawanan domba yang terlepas bebas di padang rumput beratapkan langit dengan bintang-bintangnya yang gemerlapan, menunjukkan kondisi musim panas sehingga gembala berdiam di padang rumput dengan domba-domba mereka pada malam hari untuk menghindari sengatan matahari.
Sementara itu Uskup Barns dalam Rise of Christianity  seperti juga dikutip oleh Soleh A. Nahdi berpendapat sebagai berikut:
”Kepercayaan, bahwa 25 Desember adalah hari lahir Yesus yang pasti tidak ada buktinya. Kalau kita percaya cerita Lukas tentang hari lahir itu dimana gembala-gembala waktu malam menjaga di padang di dekat Betlehem, maka hari lahir Yesus tentu tidak di musim dingin di saat suhu di negeri pegunungan Yudea amat rendah sekali sehingga salju merupakan hal yang tidak mustahil. Setelah terjadi banyak perbantahan tampaknya hari lahir tersebut diterima penetapannya kira-kira tahun 300 Masehi”

Lantas, untuk siapa perayaan natal pada 25 Desember?